Setatus Kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia

Oleh: Adhitya Johan Rahmadan

Perubahan konfigursi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang ditetapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang belum dianggap sebagai doktrin mapan, mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekedar mengklarifikasikanya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang dan Kekuasaan Kehakiman, ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang telah memulai penataan konfigurasi politiknya menjadi lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi setelah bergulirya gerakan reformasi pada tahun 1998. Dinegara yang memiliki setruktur ketatanegeraan yang dianggap mapan pun, tidak kebal terhadap gagasan untuk melakukan koreksi pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap telah mencapai titik ideal.

Sekedar menjadi contoh, di Inggris kompilasi persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan konfigurasi sosial politik Revolusi Industri pada abad ke-18 dan 19 bisa diselesikan dengan mengandalkan mekanisme kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspon dengan membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh parlemen pambentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap sebagai jawaban yang palin tepat dan diidealkan mampu menangani dan menyelesikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan melalui cara yang terlembagakan dengan baik.

Pembentukan lembaga-embaga ekstra serupa juga terjadi di Amerika Serikat seiring dengan meluasnya paran parlemen dalam struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat yang makin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu parlemen Amerika membentuk suatu badan yang bertanggungjawab kepadanya dalam berbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legeslasi, seperti Komisi Komunikasi Federal, Dewan Penerbangan Sipil, Komisi Sekuritas dab kurs, Dewan Kerjasama Buruh Nasional, Komisi Kekuasaan Federal, Komisi Perdagangan Antar Negara Bagian,, Komisi Perdagangan Federal. Dalam catatan Jimly Asshidiqqie, diseluruh Amerika Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan memi legislatif.

Kehadiran lembaga-lembaga yang oleh Cornelis Lay disebut Lembaga Sampiran Negara (state auxiliary agencies) sebenrnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sekalipun teorisasi fenomena ini masih sngat terbatas. Mulai dari “Tribunal Plebis” di era kekaisaran Romawi dan di era dinasti Tsin lewat kehadiran lembaga “Control Yuan” atau “Cencorrate” yang fungsinya adalah mengawasi sepak terjang pejabat-pejabat kekaisaran dan menjadi kembatan masyarakat dalam menyampaikan keluhan atau laporan kepada kaisar.

Sedangkan pada masa sekarang di negara-negara yang sedang mengalami transisi dari rezim pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis di negara-negara yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi ini, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri dianggap sebagai jawaban tepat untuk melakukan kontrol secara lebih efektif terhadap kekuasaan pemerintah. Perasaan traumatis berkenaan dengan bekapan sejarah otoritarianisme pemerintah dimasalalu menjadi energi dominan untuk sedapat mungkin mengendalikan kekuasaan pemerintah melalui lembaga-lembaga negara mandiri, Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri menjadi pilihan karena lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya mengalami krisis kepercayaaan, sehingga dianggap sebagai bagian dari kekuatan otoriter masa lalu yang anti pembaharuan dan tidak bisa diharapkan memunculkan perbaikan. Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri itu seringkali bersamaan dengan agenda reformasi konstitusi yang diharapkan lebih menjamin tercapainya pemerintahan yang demokratis.

Hubungan kausalitas pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang mengalami masa transisi demokrasi diatas, pada dasarnya pembentukan negara-negara mandiri di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan penyelesaian persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemmuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain Itu, kehadiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidak percayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang diahdapai.

Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, Tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang ada sebelumnya akibat adanya sumsi dan bukti mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independenya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk dibawah pengaruh suatu kekuasaan tettentu, ketiga, ketidak mampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan eksternal maupun internal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecendrungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sitem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai parasyarat baru menuju demokratisasi.

Sejak berahirnya kekuasaan rezim Orde Baru dalam berbagai elemen masyarakat sipil berkembang keinginan yang sangat kuat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), keinginan tersebut dilihat dari perspektif politik, ekonomi, sosial budaya dan moral sangat beralasan. Dalam bidang politik, KKN menimbulkan diskriminasi pelayanan publik ataupun penghargaan terhadap hak-hak politik masyarakat. Dalam bidang ekonomi, praktik KKN telah memunculkan ketidak adilan ekonomi dalam bnetuk perbedaaan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan ekonomi dan perbedaan peluang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Sementara dalam bidang sosial budaya dan moral telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat yang mengangap perbuatan KKN dianggap sebagai salah satu yang halal dan wajar, padahal berdampak buruk bagi masyarakat luas.

Oleh karena itu gelombang pembaharuan reformasi juga merambah dibidang hukum, pelaksanaan reformasi hukum telah mendapatkan landasan yang cukup kuat, karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu Ketetapan MPR Nomor IV / MPR / 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.

Dalam gelombang Reformasi Hukum tersebut, juga tidak terlepas dari Reformasi dibidang Kekuasaan Kehakiman terutama di tubuh Mahkamah Agung, yang diindikasikan terdapat praktek ”mafia peradilan” didalamnya, mafia peradilan disini tidak merujuk pada kejahatan organisasi seperti ”mafia Sisilia”, tetapi mafia peradilan merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tim Indonesia Corruption Watch memberikan gambaran secara gamblang bagaimana pola kerja pelaku mafia peradilan, hasil dari penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa korupsi di peradilan tidak hanya terjadi di pengadilan tingkat pertama , tetapi juga terjadi sampai puncak kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung.

Hal ini bertolak dari gagasan penyatuan sistim satu atap Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Angung yang besar sehingga dalam seminar hukum nasional ke 7 bertema “Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oelh badan pembinaan hukum nasional, yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 12-15 Oktober 1999 merekomendasikan tentang kemandirian Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut :
1. Perlu dipikirkan agar hakim mempunyai kekebalan, yakni tidak dapat digugat dalam hal memutus suatu perkara. Kekebalan ini harus ada imbangannya, yakni tingkahlaku para hakim. Di luarnegeri hakim dapat di-impeach. Apakah hal ini dapat berlaku di Indonesia?, Bagaimana Mekanismenya ?, Siapa yang melakukannya ?, Hal ini memerlukan pengkajian-pengkajian lebih lanjut;
2. Tentang mekanisme kontrol terhadap kekuasaan kehakiman di masa datang, diusulkan adanya mekanisme kontrol internal dan ekternal. Kontrol internal dilaksanakan dengan adanya satu dewan kode etik dan dewan kehormatan kehakiman. Sedangkan eksternal kontrol memerlukan adanya suatu dewan pengawas kinerja kekuasaan kehakiman yang anggotanya terdiri dari para ahli bidang kehakiaman. Dewan ini yang memberikan saran-saran kepada ketua MA untuk memberdayakan kekuasaan kehakiman. Di samping itu, dewan ini juga dapat mengusulkan proses impeachment kepda para hakim.
Seiring bergulirnya gagasan menegnai pengawasan terhadap kinerja hakim Ide Komisi Yudisial, satu istilah yang sebelumnya tidak dikenal. Penyebutan Komisi Yudisial secara ekplisit dimulai pada saat ditetapkanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Program pemberdayaan lembaga penegak hukum lainya menjadi perhatian perundang-undangan ini.

Kegiatan pokok yang dilakuakan antara lain pertama, meningkatkan penagwasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu; kedua, menyusun sistem rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, tarnparansi dan partisipasi baik bagi hakim maupun penegak hukum lainya; ketiga, meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainya seperti jaksa, polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainya sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tegas,wewenang, dan tanggung jawab kerja yang diemban; dan keempat, membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan.

Setelah melihat latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa munculnya Komisi Yudisial berangkat dari beberapa keinginan sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengawasan proses pradilan secara tranparan;
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan sistem menejemen dan administrasi peradilan secara terpadu;
3. Menyusun sistem rekruimen dan promosi yang lebih ketat;
4. Mengembangkan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi;
5. Meningkatkan kesejahteraan hakim melalui peningkatan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainya dan
6. Membentuk Komisi Yudisial atau dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan. Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim bersifat independen dengan keanggotaan yang dipilih dari orang-orang yang memilioki integritas teruji
Selain hal yang tersebut diatas kesimpulan penelitian A. Ahsin Tohari yang dikutip Sirajudin dan Zulkarnain dalam bukunya Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik juga menyimpulkan bahwa alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara adalah :
1. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dalam hal ini adalah Departemen kehakiman dan Kekuasaan Kehakiman;
3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak emmpunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis nonhukum;
4. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen; dan
5. Pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.

Di Indonesia peran setrategis yang dapat dilakukan Komisi Yudisial sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 beserta perubahan dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 adalah: pertama, mengusulkan pengankatan hakim agung. Peran ini dilakukan untuk menghindari kentalnya kepentingan politik eksekutif ataupun legislatif dalam rekruitmen hakim agung. Kedua, peran lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Hal ini dilakukan dengan pengawasan ekternal yang sistematis dan intensif oleh lembaga independen terhadap lembaga peradilan dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Peran ini harus segera diwujudkan sebaik-baiknya oleh Komisi Yudisial karena cermin hukum bagi pencari keadilan di negeri ini kian buram. Merebaknya kasus suap yang melibatkan para hakim di MA kian menyurutkan kepercayaaan masyarakat pada lembaga ini.

Jajak pendapat Harian Kompas yang secara berkala melihat kondisi penegakan hukum di Indonesia mendapati persepsi publik yang peismis dan cenderung kian luntur kepercayaannya terhadap insistusi penegak hukum. Penilaian negatif publik melihat sosok lembaga Ma sebanyak 62% responden memandang citra MA buruk dan hanya 29% menilai baik. Buruknya citra MA paralel dengan merosotnya lembaga Kekuasaan Kehakiman secara umum. Tingkat kepuasan disuarakan responden tentang kinerja hakim secara umum dalam penegakan hukum hanya diakui 22% responden sedangkan yang tidak puas mencapai 70%.

Secara legal formal kedudukan Komisi Yudisial diakui oleh Komstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pengakuan tersebut terdapat dalam pasal 24 B UUD 45 dimana dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa :
1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengankatan hakim agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim;
2. Angota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dewan Perwakilan Rakyat;
4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Dari Ketentuan yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut dengan jelas menyabutkan bagwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, dalam konstitusi kita Komisi Yudisial memang terdapat dalam BAB Kekuasaan Kehakiman namun dilihat dari kewenangan yang diberikan Komisi Yudisial tidak masuk dalam kategori Judiciary Bodies.

Sedangkan kedudukan Komisi Yudisial sebagai salah satu institusi negara yang mandiri (state auxsiliaris institution) dalam setruktur ketatanegaraaan indonesia, kata institusi mandiri tersebut merupakan salah satu posisi Komisi Yudisial yang penting untuk digaris bawahi daimana didalam pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan :
“Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenang nya bebas dari campurtangan atau pengaruh kekuasaan lainya.”
Dari ketentuan tersebut maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri (independence).

Secara etimologis istilah “mandiri” berarti menunjukkan kemampuan berdiri sendiri, swapraja, swasembada. Tidak ada campurtangan dari kekuasaan lain atau ketidak bergantungan suatu pihak lainya dalam literatur juga berarti “independen” dimana menurut Jimmly Asshiddiqie ada tiga pengertian independensi, yaitu :
1. Struktural Independence, yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat diganbarkan dalam bagan yang samasekali terpisah dari organisasi lain;
2. Functional Independence, yaitu independensi yanhg dilihat dari segi jaminan pelaksanaann fungsi dan tidak ditekankan dari setruktur kelmbagaannya;
3. Financial independence, Yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.

Kedudukan Komisi yudisial dalah sangat penting secara struktural kedudukanya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fusngsional peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial meskipun kekuasaannya terkait dengan Kekuasaan Kehakiman. Komisi ini bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melaikan lembaga penegak norma etik (code of etic).

Walupun Komisi Yudisial ditentukan sebagai lembaga yang independen tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak diharuskan bertanggung jawab oleh Undang-undang. Dalam pasal 38 Komisi Yudisial menentukan :
1. Komisi Yudisial bertanggung jawab kepeda publik melalui DPR;
2. Pertanggungjawaban kepeda publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a) Menerbitkan laporan tahunan; dan
b) Membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
3. Laporan sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf a sutidaknya memuat hal-hal sebagi berikut;
a) Laporan penggunaaan angaran;
b) Data yang berkaitan denga fungsi pengawasan; dan
c) Data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen hakim agung;
4. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada presiden;
5. Keuangan Komisi Yusisial diperisa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-undang.

Yang perlu digaris bawahi disini adalah pengaturan Komisi Yudisial dalam konstitusi menunjukan bahwa Komisi Yudisaial merupakan Main Organ atau sebagai lembaga negara utama seperti lembaga lembaga utama negara lainya yang ada dalam konstitusi. Argumen ini didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam Amandemen UUD 1945 terkait dengan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim, disamping itu Amandemen UUD 1945 sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga penunjang tetapi justru mengutkan kedudukan Komisi Yudisial sebagai main organ yang sifatnya mendiri seperti yang tertuang dalam pasal 24 B ayat 1 yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengankatan hakim angung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.

Kenudian hal tersebutdimplementasikan dalan pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyatakan :
“Komisi Yudisial mempunyai wewenag :
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; dan
2. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim



0 comments:

Kode Etik

Informasi yang tersedia di pedulihukum.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum, namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi, kalau Anda mendapatkan info dari situs ini, mohon dikroscek kebenaranya, dengan Undang-Undang atau sumber hukum yang lain. Hal tersebut untuk menghindari pemahaman hukum yang salah.
 

Dari Redaktur

Pembaca Budiman

Peduli Hukum Copyright © 2009 Blogger Template WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template