Oleh : Adhitya Johan rahmadan
Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gaagsan negara demokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia barat. Seperti diketahui gaagsan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno (abad ke-6 s.d. ke-3 SM) seiring dengan meluasnya negara yang megadopsi sistim Demokrasi dan negara yang berlandaskan hukum sebagai salah satu wujud degara moderan maka kemandirian Kekuasaan Kehakiman atau kebebasan hakim mulai menjadi asas yang universal yang terdapat dimana saja dan kapan saja.
Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gaagsan negara demokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia barat. Seperti diketahui gaagsan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno (abad ke-6 s.d. ke-3 SM) seiring dengan meluasnya negara yang megadopsi sistim Demokrasi dan negara yang berlandaskan hukum sebagai salah satu wujud degara moderan maka kemandirian Kekuasaan Kehakiman atau kebebasan hakim mulai menjadi asas yang universal yang terdapat dimana saja dan kapan saja.
Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan paradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campurtangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil. Jadi pada dasarnya dalam memeriksa dan mengadili. Kecuali pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalanya sidang peradilan. Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya haim secara mikro dibatasi oleh pancasila, UUD, peraturan perundang-undangan, kehendak parapihak, ketertiban umum dan kesusilaan. Itu adalah faktor-faktor yang dapat membetasi kebebasan hakim. Kalaupun kebebasab hakim itu bersifat Universal, tetapi pelaksanaannya dimasing-masing negara tidak sama.
Di negara indonesia sendiri bentuk kekuasaan kehakimen dijamin oleh UUD 1945 aturan tersebu terdapat dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 24 ayat (1) yang berbunyi; Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dapat dipahami bahwa negara Indonesia menginginkan Kekuasaan Kehakiman yang Independen begitu juga untuk pelaksaanaanya, terutama oleh para hakimnya baik yang ada dibawah MA maupun MK bebas dari campurtangan pihak eksekutif maupun legislatif dalam memuatuskan sebuah perkara.
Sebagai contoh Interfensi tersebut pernah dilakuakan dalam peradilan masa orde lama yang kita jumpai dalam pasal 23 UU No 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan MA, yang memungkinkan Presiden campur dan turuntangan dalam persidangan peradilan.
Oleh karena itu, lembaga peradilan yang independen dipahami sebagai tidak adanya pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain diluar kekuasaan kehakiman dalam proses peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan keterkaitanya dengan hukum yang berlaku.
Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang hampa dari kepentingan-kepentingan politik, karena energi politik bahkan memiliki potensi dan kecendrungan yang sangat besar untuk melakukan interfensi terhadap kekuasaan kehakiman. Boleh dikatakan bahwa politik memiliki derajat determinasi yang tinggi terhadap independensi kekuasaan kehakiman. Oleh karena hal tersebut setiap keinginan untuk melakukan reformasi agar kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak dapat direalisasikan selalu akan berhadapan daengan kepentingan-kepentingan politik yang menghadangnya. Oleh karena itu, Kekuasaan Kehakiman sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang terkait dengan kepentingan politik.
Kekuasaan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya akan dapat terwujud apabila hanya akan terwujud apabila hanya tunduk pada atautran-aturan hukum yang berlaku pada penegakannya, apa bila Kekuasaan Kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang ada dalam suatu negara, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadiranya dalam suatu negara menjadi tidak bermakna. Satu hal yang patut dicatat disini adalah bahwa adanya jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman akan membuat parahakim merasa lebih nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Kekuasaan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai sedikitnya lima segi, yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga pengadilan yang tidak bersifat politik, masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada interfensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan dan adanya otonomi secara administratif beserta anggatran belanja. Kelima hal tersebut menjadi semacam tonggak yang dapat dikjadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Gagasan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dapat diwujudkan salahsatunya apabila sumberdaya manusia hakim agung mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dapat direkrut. Artinya sitem perekrutan yang tersedia harus menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum. Oleh karebaitu, sistem perekrutan yang baik harus dibuat, yaitu sistem perekrutan yang dilakukan oleh pihak yang netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam proses perekrutan dan adanya setandar yang tepat.
Berbagai ketentuan hukum internsional memberikan persyaratan-persyaratan umum tentang perekrutan hakim , Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menciptakan standar umum dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang independen dan mana dalam satu negara yang telah memenuhi syarat dalam menegakkan gagasan Kekuasan Kehakiman yang independen dan dimana negara belum memenuhi syarat tersebut. Dengan demikian, gagasan kekuasaan kehakiman yang independen tidak dengan mudah direduksi dan didistorsi oleh negara-negara tertentu dengan menggunakan paradigmanya sendiri didalam mengimplementasikan gagasan tersebut. Dalam konteks Indonesia khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998) gagasan Kekuasaan Kehakiman yang independen perneh direduksi sedemikian rupa, sehingga secara substantif dan dalam batas tertentu apa yang disebut dengan Independensi Kekuasaan Kehakiman sesungguhnya tidak ada.
Salah satu ketentuan hukum internasional yang menentukan pesyaratan perekrutan hakim adalah Pasal 10 Prnsip-Prinsip Dasar tentang Independensi Kehakiman ( Basic Prinsiples on the Independence of the Judiciary ) yamh oleh A.Hasin Tohari diterjemahkan dalam beberapa ketentuan yaitu :
1. Adanya integritas, kecakapan dan kualifikasi calon hakim;
2. Metode seleksi hakim harus memberikan perlindungan bagi pengangkatan hakim dari motivasi-motivasi yang tidak layak
3. Tidak ada diskriminasi bagi calon hakim
Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dilingkungan Kekuasaan Kehakiman disamping Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memiliki tanggug jawab yang besar karena ditangan Mahkamah Aguglah para pencari keadilan mengajukan upaya hukum ditingkatan tertinggi (kasasi).
Diberbagai negara perekrutan hakim, kususnya hakim angung akan selalu mengandung kekuasaan politik untuk ikut serta didalammnya, pernyataan tersebut tidak terepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapi. Oleh karena itu, seorang hakim agung harus mempunyai kriteria yang tidak mudah untuk dipenuhi. Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya memiliki kemampuan dibidang hukum, pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik dan seterusnya. Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam satu perekrutan yang buruk. Tidak salah apabila dikatakan good judges are not born but made.
Kondisi diatas tersebut bisa dicapai salah satunya apabila proses perekrutan hakim khususnya hakim agung harus sedapat mungkin menjauhkan dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga penilaian terhadapnya relatif lebih objektif. Salah satu gagasan yang kemudian muncul dan akhirnya diterapkan di beberapa negara adalah didirikanya sebuah lembaga yang mempunyai peran signifikan dalam perekrutan hakim agung. Lembaga ini sifatnya tidak politis sehingga kepentingan-kepentingan politik diharapkan tidak ikut melakukan determinasi dalam perekrutan hakim agung. Lembaga yang dimaksud adalah Komisi Yudisial. Di Indonesia sendiri gagasan pembentukan Komisi Yudisial tersebut sudah diakomodir karena mencermati kelemahan perekrutan hakim agung pada masa Orde Baru dan Reformasi.
Pentungan dan Gas Air Mata
-
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
PADA 20 Oktober 2009 lalu, saya mendampingi warga petani lahan pantai yang
ingin mengikuti konsultasi publik analisis mengen...
14 tahun yang lalu
0 comments:
Posting Komentar