Format Kekuasaan Kehakiman dalam Lembaga Negara di Indonesia


Oleh : Adhitya Johan Rahmadan


Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam ketentuan perundang-undangan yakni UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan induk dan kerangka umum meletakkan dasar serta asas-asas peradilan secara umum, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas campurtangan daei pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelanggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum.

Dalam Negara hukum teori yang dianut adalah teori kedaulatan hukum. Menurut teori ini, yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik penguasa maupun rakyat atau warga negaranya, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai dan menurut hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.

Hal tersebut bermula dari konsep kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui instrumen-instrumen hukum yang kemudian dalam negara hukum harus diwujudkan dalam sitem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib agar dapat dijalankan.

Dari segi kelembagaan prinsip organisasi kemesyarakatan harus diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam setruktur mekanisme kelembagaan nagara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, Prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan, yaitu melaui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power) pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balancies). Sedangkan pembagian kekuasaan lebih bersifat vertikal dalam arti perwujutan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara mendapatkan dasar pijkan, antaralain Jhon Locke dan Montesquiu, Jhon locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” Jhon Locke mengusulkan agar kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi kepada organ-organ negara yang berbeda, menurut Jhon Locke agar pemerintah tidak sewenamg-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat Undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan Undang-undang)
3. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Montesquieu melalui bukunya “L’espirit des Lois”, Montesquiu pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbedadari yang ditawarkan Jhon Locke. Menurut montesqueu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat Undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana Undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (peradilan/ kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan kalau terjadi pelanggaran). Ketiga porosm kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu samalain baik mengenai orangnya maupun kekuasaannya. Ajaran mengenai pemisahan kekuasaan kedalam tiga pusat kekuasaan dari Montesqueu kemudian oleh Imanuel Kant diberinama Trias Politica.

Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Montesquieu terlihat ada pembedaan sebagai berikut :
1. Menurut Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasan yang mencakup kekuasaan yudikatif , karena mengadili itu berati melaksanakan Undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri
2. Menurut Montesquiu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif. Sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.

Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan menurut Montesqueu lebih dapat diterima. Namun dalam praktek ketatanegaraan, konsep Trias Politika sulit dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Oleh karena dalam suatu negara hukum moderen, satu organ atau badan kenegaraan itu tidak hanya diserahi satu fungsi kekuasaan saja. Kenyataan menunjukkan bahwa pembuat undang-undang yang seharusnya tugas legislatif, ternayata eksekutif juga diikutsertakan. Bahkan di Amerika Serikat yang dianggap kampiun dalam menjalankan konsep pemisahan negara, ternyata dalam praktek ketatanegaraannya dikenal sistem saling mengawasi dan saling mengadakan pertimbangan (check dan balance system ) antara kekuasaan-kekuasaan negara tersebut. Adanya hak feto dari presiden terhadap rancangan undang-undang yang diajukan kongres Amerika padahakekatnya sudah mengurangi pelaksanaan Trias Politica, karena wewenang menetapkan undang-undang oleh legislatif (kongres) sudah dikurangi.

UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) tersebut. Pembuat UUD 1945 tidak menghendaki agar sistem pemerintahanya disusun berdasarkan ajaran Tris Politica dari Montesquieu, karena ajaran atu dianggap sebagai paham liberal.Prof. Soepomo selaku salah seorang perancang UUD 1945 berpendapat bahwa UUD 1945 mempunyai sitem tersendiri, yaitu berdasarkan pembagian kekuasaan (distribution of power).

Dalam pembagian kekuasaan dimungkinkan adanya kerjasama antara lembaga-lembaga negara. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) menujukkan adanya kerjasama antara DPR dengan pemerintah dalam tugas legislatif. Disamping itu Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sumber kekuasaan itu dari tangan rakyat. Selanjutnya sumber kekuasaan itu melalui Majelis dilimpahkan dan didistribusikan kepada lembaga-lembaga lain, yang kedudukannya bnerada dibawah Mejelis. Lembaga-lembaga tersebut ialah Presiden (Pasal 4 (1)), DPR (pasal 19), DPA (Pasal 16), BPK (Pasal 23) dan Mahkamah Agung (Pasal 24). Dengan demikian berarti poros kekuasaan yang sejajar dengan eksekutif menurut UUD 1945 tidak terbatas pada tiga kekuasaan saja, tetapi ada lima poros kekuasaan.

Dari lima poros kekuasaan tersebut, cabang kekuasaan kehakiman merupakan salah satu cabang kekuasaan rakyat yang didistribusaikan oleh lembaga negara, sesuai dengan prinsip pembagian poros kekuasaam dimana cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang berpuncak kepada Mahkamah Agung yang Independen dan tidak terpengaruh cabang kekuasaan yang lain.

Sejak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadio begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra setruktur politik perlu direspon dengan perubahan konstitusi sebagai hukum dasar negara yang menjadi pijakan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.

Susunan kekuasaan negara setelah perubahan UUD 1945 menampilkan perubahan yang sangat fundamental. MPR berubah kedudukannya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga join session antara DPR dan DPD. DPA dihapus karena dilihat fungsinya tidak lagi setrategis. DPR dipertegas kewenanganya baik dalam fiungsi legislasi maupun fungsi pengawasan. Aturan tentang BPK ditambah, selain itu UUD 1945 setelah perubahan memunculkan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, Bank Indonesia dan Komisi Yudisial.

Kekuasaan kehakiman setelah UUD 1945, tetapi menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang mempunyai fungsi menegakkan keadilan. Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan pada kekuasaan yang mendiri bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dalam susunan kekuasaan negara Republik Indonesia yang baru, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tatausaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim Agung yang perofesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga yang khusus diadakan untuk rekruitmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).

Namun dalam perkembangannya puncak kekuasaan kehakiman tersebut berkembang
menjadi sua puncak yaitu MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) Haltersebut diungkapkan oleh Profesor Jimly Assiddiqie, Jimly Assidiqie mengungkapkan bahwa, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis Mahkamah lain yang berada diluar MA. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sedrajat dengan MA. Sebutanya adalah Mahkamah Konstitusi (Constitusional Court) yang dewasa ini makain banyak negara yang membentuknya di luar kerangka MA. Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke 798 yang mengadopsi gagasan pembentukan MK yang berdiri sendiri. Setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.

Secara umum, untuk landasan hukumnya dapat kita lihat setelah diundangkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara organisatoris, administratif dan finansial MK berada dibawah kekuasaan dan kewenangan MK (Pasal 13 ayat (2) UU No 4 tahun 2004.



0 comments:

Kode Etik

Informasi yang tersedia di pedulihukum.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum, namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi, kalau Anda mendapatkan info dari situs ini, mohon dikroscek kebenaranya, dengan Undang-Undang atau sumber hukum yang lain. Hal tersebut untuk menghindari pemahaman hukum yang salah.
 

Dari Redaktur

Pembaca Budiman

Peduli Hukum Copyright © 2009 Blogger Template WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template