Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Sekali lagi Mahkamah kontitusi (MK) melahurkan sebuah keputusan yang mengejutkan atau bahkan bias dikatakan bersejarah, Ditengah derasnya arus kapitalisme yang didukun oleh pasar bebas dan globalisasi, MK meneluarkan keputusan pembatalan UU no 2 tahun 2002, yang di beberapa pasalnya tercermin semangat kebebasan ekonomi (economic liberaties ).
Apakah ini menandakan ini putusan mahkamah konstitusi masih berpihak kepada ide para founding father bangsa yang merancang undang-undang dasar kita. Dengan semangat mambangun ekonomi yang memihak kepada kepentimgan rakyat bukan pada kepentingan pasar.
Dalam hal ini esunguhnya asalmuasal dari perbedaan wacana legeslatif dan MK berasal dari prinsip-prinsip negara Denokarasi Liberal dan negara sosialis. Dimana hamper semua negara-negara Demokrasi Liberal , sudah menyerahkan semua urusan ekonomi meraka kepada mekanisme pasar. Negara tidaklagi mengiterfensi urusan ekonomi tersebut. Dan itu berdampak pula pada sitem hukumnya dimana dinegara-negara tersebut, konstitusi hanyalah merupakan dokumen politik yang mengatur hubungan poilitik. Dan perekonomian sama sekali tidak diatur dalam perekonomian mereka.
Sebaliknya Di negara-negara sosialis, didalam bidang ekonomi , mereka membutuhkan intervensi negara yang besar. Pengaturan tersebut diaplikasikan dan diatur dalam konstitusi mereka, sehingga melahirkan aturan hokum dibawahnya (undang-unndang ) yang mengatur hal perekonomian.
Sementara di inmdonesia Konstitusi mengadopsi ide kedaulatan rakyat, dimana rakyat ber\daulat dibidang politik dan ekonomi. Tidak heran jika UUD 45 juga mengatur bab tentang soal ekonomi, yakni pada Bab XIV tentang kesejah teraan social, yaitu pasal 33 dan 34 .bah kan pada aman demen ketiga Bab XIV ini di perjelas dengan nama bab ekonomi nasional dan kesejahbteraan.
Dalam hal ini Jimliy Assiddiqie mengatakan bahwa : “ ini ada perbedaannya dengan cina, di cina meraka mengatakan.liberasi ekonomi yes liberasi pilitik no, Indonesia sebaliknya “. Setetemen ketua MKL tersebut bias mengambarkan bahwa I,mplementasi (praktik ) pembangunan ekonomi di Indonesia, peranan negara ini semakin melonggar. Terlebih lagi setelah Indonesia ikutserta dalam perjanjian-perjanjian internasiaonal seperti WTO yang berhaluan pasarbebas yang berdampak pada privatisasi BUMN.
Putusan mah kamah konstitusi itu dapat menjadi sebuajh rambu-rambu bagi legesltf agar memperhatikan landasan dasar filosofis Undang-Undang Dasar 45 menganut system ekonomi yang berasas kekeluargaan yang tidak sejalan dengan ekonomi pasar bebes yang propasar bukan pro kepada rakyat. Sehinga bias dijadikan wacana kedepan agar pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan seyogyanmg berpihak kepada rakyat tidak semat-mata hanya kepada pasar dengan alasan globalisasi, atau pasarbebas. Karena indonesiaini milik rakyat bukan dipunyai oleh para pemilik modal.
Opini Tentang Pembatalan UU No 20 Tahun 2002 Tentang Ketenaga Listrikan
Analisa Kasus Abilio Soares Yang Akan Memminta Perlindungan Internasional
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Permasalahan hukum internasional pada ahir-ahir ini semakin pelik dan sulit di pecahkan terugtama masalah timur-timur yang belum selesai juga padahal sudah hampir lima tahun timur-timur sudah lepas dari kedaulatan Indonesia (memerdekakan diri) tetapi masih menyisakan permasalahan yang tidak mudah untuk diselesaikan
Pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas tentang kasus Abilio sosres yang ingin meminta perlindungan internasional karena kasasinya dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara, ditolak oleh Maahkamah Agung penulis akan membedahnya dengan analisis hukum,sosisl budaya dan politik.
Dalam menangapi penolakan kasasinya oleh mahkamah konstitusi Abilio ingin mengupayakan melalui Mahkamahkamah internasional di Den haag menureut tijauan yuridis upaya lobi ini kemungkinan akan gagal karena dalam pasal 34 ayat 1 secara kategoris menyatakan: hanya negara-negara yang boleh menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka mahkamah.
Jadi kemungkinan pencarian kebenaran Abilio akan gagal walaupun, delam mahkamah internasional seorang individu bisa mengajukan sengketanya tetapi harus melalui mekanisme perlindungan diplomatik internasional negara-negara dapat mengambil alih dan melindungi kepentigan warganya didepan mahkamah.
Abilio dalam kasus ini adalah bisa mengajukan perkaranya jika ada negara yang berkepentingan dan dibenarkan secara yuridis untuk mewakili haknya untuk di ajukan ke mahkamah internasional.dan dalam kasus ini kalau abilio sudah menjadi warganegara di timur-timur dan timur-timur sebagai perwakilan dari hak Abiliolah yang bisa mengajukannya ke mahkamah internasional,tetapi jika abilio masih menjadi warga negara indonesia. peluang itu akan tertutup sama sekali.
Kalaupun di paksa ,tindakan tersaebut akan melanggar salah satu asas dalam hukum internasional,yaitu seseorang yaitu seseorang tidak dapat di adili duakali dalam perkara yang sama atau nebis in idem. Karena tidak bisa di pungkiri Indonesia telah memebuat peradilan Ad Hoc,walaupun mungkin ada kepentingan politik,yang bermain didalamnya yaitu untuk melindungi oknum-oknum petinggi militer yang terlibat dalam kasus pelanggaran ham di Tim-Tim.
Tetapi pengadilan sudah digelar dan secara yuridis formal tindakan pemerintah Indonesia benar.dan kasasi dari Abilio sudah final dan berahir di tingkat pengadilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung yang tidak bisa di ganggu gugat lagi.
Sedangkan Analisis dari pihak internasional hal itu akan lebih sulit lagi karena dalam hal ini konstilasi politik internasional lebih berpihak kepada indonesia.Dijelaskan untuk membawa sebuah masalah untuk digelar di peradilan internasional ter lebih dahulu harus ada persetujuan dari Dewan keamanan PBB. untuk memperoleh persetujuan tersebut bukan perkara mudah.
Negara-negara besar seperti AS dan RRC,sebagai angota tetap dewan keamanan akan mendukungnya karena kalau dilihat dari kacamata politik jika AS setuju permasalahan yang sudah mendapat penyelesaian huklun di tingkat nasional di ajukan ke tingkat internasional maka,sama artinya dia membuka peluang bagi para prajuritnya di medan perang (Vietnam,Afganistan dan Irak) untuk diadili di tinggkat Internasional,begitu pula sekutunya Iggris.RRC pun akan berpikir dua kali jika kasus Tiananmen’’ dibawa ketingikat Internasional juga.
Masalah lain yang juga bisa menganjal adalah bentuk perwujutan pencarian kadilan Abilio dari peradilan negri ke peradilan internasional akan tergan jal oleh setatus peradilan internasional ini.Menurut setatua Roma,Dengan jelas di sebutkan bahwa peradilan internasional itu sifatnya pelengkap dari peradilan nasiona.Dalam penjelasan setatua itu juga di tambahkan,peradilan Internasional bisa di berlakukan jika peradilan nasional lumpuh dan tak berdaya (tidak mampu dan tidak bersedia) dsalam hal ini indonesia telah membuktikan mampu menggelarnya.
Kesimpulan
Yang perlu di cermati dalam hal ini adalah bah wa se orang individu tidak dapat mengajukan permasalahannya ke penmgadilan internasional kecuali diwakili haknya oleh negaranya,kalaupun hal tersebut menyangkut permasalahan hak asasi manusia jika pengadilan nasional mampu mengelarnya yang dalam opini Internasional dianggap adil dan bersih maka dilihat dari aspek hukum dan historis pengadilan internasional tek perlu digelar untuk menangapi banding Abilio ke dunia internasional (mahkamah internasional) sekian makalah yang bisa disajikan penulis kritik dan saran selalu penulis tunggu semoga bermanfaat Tetimakasih.
Daftar pustaka
1. DR.Mauna Boer.2003 hukum internasional Bandung Penerbit Alumni
2. Tempo interaktif.Com 21-8-2002
3. Tempo interaktif.com 4-6-2004
Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial dalam Rekruitmen Calon Hakim Angung
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan Istilah “wewenang” untuk menunjuk fugsi yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Wewenang (bevoegdheid) mengandung pengertian tugas (plichten) dan hak (rechten)
Berefleksi dari kelemahan perekrutan hakim agung pada masa orde lama, orde baru dan pada awal reformasi maka didalam pasal 24 A ayat (3) UUD 1945 dikatakan sebagai berikut : “Calon hakim angung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Pewakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim angung oleh Presiden”.
Sementara itu, didalam ketentan Pasal 8 undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sisebutkan sebagai berikut:
1. Hakim agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Calon hakim agung sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
3. Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung yang diangkat oleh presiden.
5. Ketua Muda Mahkamah Angung dianggkat oleh Presiden diantara hakim angung yang diajukan oleh ketua Mahkamah Angung.
6. Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung, Ketua dan Wakil Ketua Muda Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan calon diterima presiden.
Dalam ketentuan yang terdapat didalam Pasal 24 A ayat (3) UUD 1945 tersebut menyuratkan bahwa Komisi Yudisial telah mengambil alih fungsi-fungsi yang selama ini diperankan oleh MA, Pemerintah dan DPR sebagaimaan siatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sedangkan DPR mengantikan peran presiden sebagai pihak yang kepadanya diajukan calon Hakim Agung. Presiden hanya sebagai pihak yang mengangkat hakim agung dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara.
Menindak lanjuti pengalihan fungsi-fungsi pengusulan calon hakim agung yang selama ini diperankan MA, DPR dan Pemerintah kepada komisi yudisail dan dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan Istilah “wewenang” untuk menunjuk fugsi yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Wewenang (bevoegdheid) mengandung pengertian tugas (plichten) dan hak (rechten). Tugas dan Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 14 UU No 22 Tahun 2004 Tenang Komisi Yudisial meneruskan bahwa;
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempenyai tugas:’
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR,
(1) Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung , Mahkamah Agung Menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berahirnya jabatan tesebut.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakuakan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari Mahkamah agung mengenai lowongan Hakim Agung.
Selanjutnya, Pasal 16 UU No 22 Tahun 2004 menyebutkan :
(1) Pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Selain Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan calon Hakim Agung memenuhi persyaratan administrasi dengan menyerahkan sekurang-kurangnya :
a. Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan;
b. Ijazah asli atau yang telah dilegalisasi;
c. Surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah;
d. Daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon;
e. Nomor pokok wajib pajak
Dalam UU No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial ini juga diatur mengenai keterlibatan masyarakat dalam proses perekrutan Hakim Agung, hal tesebut terlahir dikarenakan evaluasi dari sistem rekrutmen hakim pada masa Orde Baru yang berlandaskan yang berdasarkan pada UU No 14 Tahun 1985 yang memperlihatkan beberapa kelemahan, diantaranya :
1 Tidak ada perameter yang obyektif untuk mengukur kualitas dan integritas calon hakim agung.
2 Adanya indikasi praktik droping nama, dimana hakim agung akan memberikan nama kepada Mahkamah agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar; dan
3 Adanya indikasi jaringan, pertemanan, hubungan keluarga, dan sebagainya yang menyebabkan pemilihan tidak dilakuakn secara obyektif.
Untuk itu pelibatan masyarakat dalam proses rekruitmen Hakim Agung dalam UU No 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial diatur dalam pasal 17 ayat (3) yang menyebutkan :
“Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak pengumuman sebagaimana diatur ayat (2)
Selanjutnya, dalam ayat (4) disebutkan :
“Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberian informasi atau pendapat berakhir.”
Kemudian Pasal 18 mengatur:
(1) Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kebribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administratif berdasrkan atandar yang telah ditetapkan.
(2) Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya Ilmiah dengan topik yang telah ditentukan.
(3) Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu palinglama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan.
(3) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu lama 20 (dua puluh) hari.
(4) Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Tahapan selanjutnya dari proses rekruitmen hakim agung adalah wewenang dari DPR memilih hakim agung berdasarkan daftar nama yang diajukan Komisi Yudisial, hal tersebut diatur dalam pasal 19 UU No 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dalam pasal tersebut menyatakan:
(1) DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajuakan kepada presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
(2) Keputusan Presiden mengenai pengankatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangkawaktu palinglama 14 (empat belas) harisejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR.
(3) Dalam jangkawaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden yang berwenang mengngagkat Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (5).
Dalam hal ini usulan nama yang diajukan Komisi Yudisial bersifat mengikat, artinya DPR wajib dan hanya dapat memilih bakal calon diantara daftar nama calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial.
Analisis Proses Penetapan Hukum Poligami Di Indonesia Perspektif Munakahah
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Poligami adalah permasalahan pelik dan harus ditanggapi dan di eksplorasi secara mendalam untuk mendapatkan bagaimana sebenarnya hukum poligami bisa diperbolehkan di indonesia dan bagaimana propses penetapan hukumnya prosesnya serta implikasinya di indonesia yang di tinjau dari ijtihad dari para ulama islam pun berbeda-beda pendapat tentang permasalahan ini.
Poligami dalam sejarah
Kalimat poligami berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua unsur kata yaitu poly artinya bayak dan gamie artinya kawin,Jadi poligami artinya adalah mengawini beberapa istri dalam waktu yang bersamaan.Kebalikan poliygami adalah poliyandri,istri memiliki beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli sejarah,praktik poligami dilakukan oleh para raja-raja dan kepala suku mereka melakukannya dengan menaklikkan raja-raja kecil dan rampasan perang.Akibatnya,semaki9n suburlah praktik poligami.Demilikian harkat dan martabat kaum perempuan semakin jauh terpuruk wanita menjadi alat pemuas nafsu dan di perdagangkan.
Sistem pernikahan poliygami juga dilakukan di beberapa kalangan masyarakat arap jahiliyah,diantara mrreka adayang beristrikan sepuluh,duapuluh dan malah ada yang lebih dari itu.Demikian juga perempuan dapat diperdagangkan,diwariskan atau dipinjamkan mereka mennganggap perilaku tersebut bukanlah perbuatan tercela melainkan sudah menjadi hal yang biasa,kemudian islam datang dengan misi menghapus perbudakan dan pembatasan poliygami dengan seperangkat persyaratan yang berat.
Tinjauan Teks dan Konteks Poligami.
Dalil nagli yang selalu yang selalu dijadikan alasan pembenaran terhadap alasan pembenaran poligami dikalanngan umat islam adalah QS al Nisa :3,yang didalamnya terkandung pembicaraan tentang anak yatim.Jika memahami ayat tersebut secara utuh,termasuk ayat-ayat sebelumnya mulai dari ayat 2 sampai ayat 6 dapat dipahami ayat-ayat tersebut megandumg ajaran terhadap perlindungan anak yatim dan hartanya.
Para mufasir berkaitan dengan QS al Nisa : 3,bersepakat turunnya ayat tersebut sebagaimana hadis diriwayatkan Bhukhari,Muslim,Nasai,Baihaqi dan Urwah Ibnu Zubair berkenaan dangan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya.tetapi wali itu tertaraik kecantikan dan harta perempuan yatim dan ingin menikahinya tanpa mahar.Kemudian turunlah ayat tersebut sebagai peringatan bagi parawali sepaya bisa berlaku lurus dan adil terhadap perempuan-perempuan yatim yang ada dalam pengampuannya.
Dengan demikian,begitu seriusnya Allah memerintahkan untuk melindungi hak-hak perempuan yatim dengan tidak memakan hartanya,sampai-sampai Allah melarang menikahkan atau menikahi anak yatim kalau nyata-nyatanya tidak bisa berbuat adil atau motivasinya hanya karena semata-mata karena hartanya,sebagai alternatif Allah mepersilahkan menikahi perempuan lain saja ,entah dua,tiga atau empat itupun harus adil ditarik dari implementasi QS anisa Ayat 3 itu merupakan keadaan yang mendesak (Dlorurot) daan taranya ada beberapa keadaan yang memerlukan pemecahan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Apabila seorang laki-laki kuat syahwatnya,dan seorang istri belum memadai
2. Bila seorang suami benar benar ingin mempunyai anak dan istriya mandul
3. bila isrinya sakit dan tidak mampu melayani suaminya
4. apabila dalam masyarakat terjadi suatu kasus dimana jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki
Tetapi dari keseluruhan hal-hal yang disebutkan diatas harus memenuhu syarat isri harus menyetujuio secara iklas dan sang suami bisa berbuat adil dan yang perlu diperhatikan adalah hal yang kedua yaitu adil.Allah sangat menekankan pentingnya keadilan dan dengan segera setelah itu Allah juga memberikan penegasan,beristri satu (monogami) merupakan cara yang lebih mendekatkan manusia untuk berbuat adil,tidak zalim dan melampaui batas.Dan dalam kajian yuridisnya itu terdapat dalam pasal 1ayat satu UNDANG-UNDANG No 1 tahun 74
Firman Allah QS al Nisa :3
Artinya :dan jika kamu takut tidakakan bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menngawininya) maka kwinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi dua tiga atau empat.kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,maka (kawinililah) seorang saja atau budak-budak.Yang demikian itu adalah lebihdekat dengan tidak berbuat aniaya.
Apabila dikaji ayat tersebut,ayat diatas jelas menyebutkan monogami lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya,dan poligami rentan terhadap tindakan sewenang-wenang terhadap kaum perempuan.Kesimpulan ini sejalan dengan kandungan QS,al Nisa : 129
Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin brbuat adil,karena itu jangan lah kamu terlalu jendrung (kepada yang kamu cintai),sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katrung.Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memlihara diri (Dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah maha penganpun lagi maha penyayang.
Tetapi jika mencermati QS,Nisa 3,ada pernyataan yang bisa diajukan.jika poligami dimsudkan untuk mengantisipasi perbuatan aniaya para wali terhadap perempuan-perempuan yatim yang berada dalam pemeliharaan mereka,apakah tetap sepenuhnya dengan pengalihan kepada perempuan-perempuan lain yang bukan yatim ? bukankah itu lebih menjamin tercapainya tujuan ? mengapa justru parawali diberi peluang mengawini perempuan-perempuan yang bukan yatim ?
Pada asalnya hukum poligami adalah mubah (boleh).karena suatu hukum dalam pelaksanaan selalu berjalan seiring dengan kondisi-kondisi tang melingkupinya,hukum poligami bersifat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang berkembang di zamannya.
Mengenai poligami yang dilakukan nabi ,menurut ulama-ulama mempunyai nhikmah :
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama.Isri-isri Nabi bisa menjadi sumber-sumber bagi umat islam yang igin mengetahui najaran-ajaran nabi dan praktik kehidupan Nabi dalam berkeluarga terutma masalah-masalah perkawinan berserta rumahtanggaan
2. Untuk mempersekutukan seku-sukuy bangsa Arab dan menarik mereka masuk islam.Misalnya perkawinan dengan Juariyyah putri al haris kepada suku bani musthaliq.juga sofyah suku bani Quraidhah dan Bani Nadzir
3. Kepentingan sosial kemanusiaan,misalnya perkawinan nabi dengan beberapa janda pahlawan islam yang telah lanjut usianya,seperti siti binti zamah (suaminya meninggal setelah suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah Abesiana)Zainap binti Khuziamah dan Hidun Ummu Salamah (suaminya yang gugur di perang uhud).mereka memerlukan perlindungan jiwa,agama serta penanggung untuk memenuhi hidupnya.
Kesimpulan
Banyak yang bisa kita ambil dari urain diatas bahwa ada beberapa pokok pokok yang bisa kita rekomendasikan yaitu :
1. Dengan berlandaskan praktek nabi poligami sebaiknya dengan janda
2. Poligami boleh dilakukan tetapi sebelumnya harus dilakuakan rekonstruksi sosial agar lebih adil.
3. Perlu sosialisasi penguatan hak-hak reproduksi perempuan.
4. Poligami harus dilandasi oleh semangat untuk melindungi kaum perempuan dari ketidak adilan jika dengan berpoligami malah justru mengakibatkan ketidak adilan maka poligami harus dihindari.
Akirya,poligami tak lebih tak kurang dari sekedar boleh menuntut pengertian hukum.Selain itu,harus diingat setiap perbuatan yang diperboplehkan menurut hukum akan tetap dilarang jika cendrung mengakibatkan ketidak adilan dan perbuatan melawan hukum itu sendiri.
Setatus Kelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia
Oleh: Adhitya Johan Rahmadan
Perubahan konfigursi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang ditetapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang belum dianggap sebagai doktrin mapan, mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekedar mengklarifikasikanya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang dan Kekuasaan Kehakiman, ini tidak hanya terjadi di Indonesia yang telah memulai penataan konfigurasi politiknya menjadi lebih sesuai dengan nilai-nilai demokrasi setelah bergulirya gerakan reformasi pada tahun 1998. Dinegara yang memiliki setruktur ketatanegeraan yang dianggap mapan pun, tidak kebal terhadap gagasan untuk melakukan koreksi pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap telah mencapai titik ideal.
Sekedar menjadi contoh, di Inggris kompilasi persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul akibat adanya perubahan konfigurasi sosial politik Revolusi Industri pada abad ke-18 dan 19 bisa diselesikan dengan mengandalkan mekanisme kelembagaan yang telah ada sebelumnya, melainkan direspon dengan membentuk badan-badan yang bersifat khusus yang dilakukan oleh parlemen pambentukan badan-badan yang bersifat khusus ini dianggap sebagai jawaban yang palin tepat dan diidealkan mampu menangani dan menyelesikan kompleksitas persoalan-persoalan ketatanegaraan melalui cara yang terlembagakan dengan baik.
Pembentukan lembaga-embaga ekstra serupa juga terjadi di Amerika Serikat seiring dengan meluasnya paran parlemen dalam struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat yang makin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang berbeda dari sebelumnya, sehingga membutuhkan jawaban-jawaban baru yang harus segera ditemukan. Oleh karena itu parlemen Amerika membentuk suatu badan yang bertanggungjawab kepadanya dalam berbagai urusan khusus berkenaan dengan fungsi legeslasi, seperti Komisi Komunikasi Federal, Dewan Penerbangan Sipil, Komisi Sekuritas dab kurs, Dewan Kerjasama Buruh Nasional, Komisi Kekuasaan Federal, Komisi Perdagangan Antar Negara Bagian,, Komisi Perdagangan Federal. Dalam catatan Jimly Asshidiqqie, diseluruh Amerika Serikat, badan-badan seperti ini tercatat tidak kurang dari 30 buah yang merupakan badan-badan khusus yang relatif independen dengan tugas menjalankan fungsi yang bersifat semiyudisial dan memi legislatif.
Kehadiran lembaga-lembaga yang oleh Cornelis Lay disebut Lembaga Sampiran Negara (state auxiliary agencies) sebenrnya memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sekalipun teorisasi fenomena ini masih sngat terbatas. Mulai dari “Tribunal Plebis” di era kekaisaran Romawi dan di era dinasti Tsin lewat kehadiran lembaga “Control Yuan” atau “Cencorrate” yang fungsinya adalah mengawasi sepak terjang pejabat-pejabat kekaisaran dan menjadi kembatan masyarakat dalam menyampaikan keluhan atau laporan kepada kaisar.
Sedangkan pada masa sekarang di negara-negara yang sedang mengalami transisi dari rezim pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis di negara-negara yang sedang melakukan konsolidasi demokrasi ini, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri dianggap sebagai jawaban tepat untuk melakukan kontrol secara lebih efektif terhadap kekuasaan pemerintah. Perasaan traumatis berkenaan dengan bekapan sejarah otoritarianisme pemerintah dimasalalu menjadi energi dominan untuk sedapat mungkin mengendalikan kekuasaan pemerintah melalui lembaga-lembaga negara mandiri, Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri menjadi pilihan karena lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya mengalami krisis kepercayaaan, sehingga dianggap sebagai bagian dari kekuatan otoriter masa lalu yang anti pembaharuan dan tidak bisa diharapkan memunculkan perbaikan. Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri itu seringkali bersamaan dengan agenda reformasi konstitusi yang diharapkan lebih menjamin tercapainya pemerintahan yang demokratis.
Hubungan kausalitas pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara yang mengalami masa transisi demokrasi diatas, pada dasarnya pembentukan negara-negara mandiri di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan penyelesaian persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemmuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain Itu, kehadiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidak percayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang diahdapai.
Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, Tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang ada sebelumnya akibat adanya sumsi dan bukti mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independenya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk dibawah pengaruh suatu kekuasaan tettentu, ketiga, ketidak mampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan eksternal maupun internal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecendrungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sitem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai parasyarat baru menuju demokratisasi.
Sejak berahirnya kekuasaan rezim Orde Baru dalam berbagai elemen masyarakat sipil berkembang keinginan yang sangat kuat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), keinginan tersebut dilihat dari perspektif politik, ekonomi, sosial budaya dan moral sangat beralasan. Dalam bidang politik, KKN menimbulkan diskriminasi pelayanan publik ataupun penghargaan terhadap hak-hak politik masyarakat. Dalam bidang ekonomi, praktik KKN telah memunculkan ketidak adilan ekonomi dalam bnetuk perbedaaan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan ekonomi dan perbedaan peluang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Sementara dalam bidang sosial budaya dan moral telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat yang mengangap perbuatan KKN dianggap sebagai salah satu yang halal dan wajar, padahal berdampak buruk bagi masyarakat luas.
Oleh karena itu gelombang pembaharuan reformasi juga merambah dibidang hukum, pelaksanaan reformasi hukum telah mendapatkan landasan yang cukup kuat, karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), yaitu Ketetapan MPR Nomor IV / MPR / 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.
Dalam gelombang Reformasi Hukum tersebut, juga tidak terlepas dari Reformasi dibidang Kekuasaan Kehakiman terutama di tubuh Mahkamah Agung, yang diindikasikan terdapat praktek ”mafia peradilan” didalamnya, mafia peradilan disini tidak merujuk pada kejahatan organisasi seperti ”mafia Sisilia”, tetapi mafia peradilan merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tim Indonesia Corruption Watch memberikan gambaran secara gamblang bagaimana pola kerja pelaku mafia peradilan, hasil dari penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa korupsi di peradilan tidak hanya terjadi di pengadilan tingkat pertama , tetapi juga terjadi sampai puncak kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung.
Hal ini bertolak dari gagasan penyatuan sistim satu atap Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Angung yang besar sehingga dalam seminar hukum nasional ke 7 bertema “Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oelh badan pembinaan hukum nasional, yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 12-15 Oktober 1999 merekomendasikan tentang kemandirian Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut :
1. Perlu dipikirkan agar hakim mempunyai kekebalan, yakni tidak dapat digugat dalam hal memutus suatu perkara. Kekebalan ini harus ada imbangannya, yakni tingkahlaku para hakim. Di luarnegeri hakim dapat di-impeach. Apakah hal ini dapat berlaku di Indonesia?, Bagaimana Mekanismenya ?, Siapa yang melakukannya ?, Hal ini memerlukan pengkajian-pengkajian lebih lanjut;
2. Tentang mekanisme kontrol terhadap kekuasaan kehakiman di masa datang, diusulkan adanya mekanisme kontrol internal dan ekternal. Kontrol internal dilaksanakan dengan adanya satu dewan kode etik dan dewan kehormatan kehakiman. Sedangkan eksternal kontrol memerlukan adanya suatu dewan pengawas kinerja kekuasaan kehakiman yang anggotanya terdiri dari para ahli bidang kehakiaman. Dewan ini yang memberikan saran-saran kepada ketua MA untuk memberdayakan kekuasaan kehakiman. Di samping itu, dewan ini juga dapat mengusulkan proses impeachment kepda para hakim.
Seiring bergulirnya gagasan menegnai pengawasan terhadap kinerja hakim Ide Komisi Yudisial, satu istilah yang sebelumnya tidak dikenal. Penyebutan Komisi Yudisial secara ekplisit dimulai pada saat ditetapkanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Program pemberdayaan lembaga penegak hukum lainya menjadi perhatian perundang-undangan ini.
Kegiatan pokok yang dilakuakan antara lain pertama, meningkatkan penagwasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan secara terpadu; kedua, menyusun sistem rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, tarnparansi dan partisipasi baik bagi hakim maupun penegak hukum lainya; ketiga, meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainya seperti jaksa, polisi dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainya sampai pada tingkat pemenuhan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tegas,wewenang, dan tanggung jawab kerja yang diemban; dan keempat, membentuk Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan.
Setelah melihat latar belakang tersebut, dapat disimpulkan bahwa munculnya Komisi Yudisial berangkat dari beberapa keinginan sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengawasan proses pradilan secara tranparan;
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembenahan sistem menejemen dan administrasi peradilan secara terpadu;
3. Menyusun sistem rekruimen dan promosi yang lebih ketat;
4. Mengembangkan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi;
5. Meningkatkan kesejahteraan hakim melalui peningkatan hakim melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainya dan
6. Membentuk Komisi Yudisial atau dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fungsi pengawasan. Komisi Yudisial atau Dewan Kehormatan Hakim bersifat independen dengan keanggotaan yang dipilih dari orang-orang yang memilioki integritas teruji
Selain hal yang tersebut diatas kesimpulan penelitian A. Ahsin Tohari yang dikutip Sirajudin dan Zulkarnain dalam bukunya Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik juga menyimpulkan bahwa alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan Komisi Yudisial di berbagai negara adalah :
1. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dalam hal ini adalah Departemen kehakiman dan Kekuasaan Kehakiman;
3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak emmpunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis nonhukum;
4. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen; dan
5. Pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Di Indonesia peran setrategis yang dapat dilakukan Komisi Yudisial sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 beserta perubahan dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 adalah: pertama, mengusulkan pengankatan hakim agung. Peran ini dilakukan untuk menghindari kentalnya kepentingan politik eksekutif ataupun legislatif dalam rekruitmen hakim agung. Kedua, peran lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Hal ini dilakukan dengan pengawasan ekternal yang sistematis dan intensif oleh lembaga independen terhadap lembaga peradilan dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Peran ini harus segera diwujudkan sebaik-baiknya oleh Komisi Yudisial karena cermin hukum bagi pencari keadilan di negeri ini kian buram. Merebaknya kasus suap yang melibatkan para hakim di MA kian menyurutkan kepercayaaan masyarakat pada lembaga ini.
Jajak pendapat Harian Kompas yang secara berkala melihat kondisi penegakan hukum di Indonesia mendapati persepsi publik yang peismis dan cenderung kian luntur kepercayaannya terhadap insistusi penegak hukum. Penilaian negatif publik melihat sosok lembaga Ma sebanyak 62% responden memandang citra MA buruk dan hanya 29% menilai baik. Buruknya citra MA paralel dengan merosotnya lembaga Kekuasaan Kehakiman secara umum. Tingkat kepuasan disuarakan responden tentang kinerja hakim secara umum dalam penegakan hukum hanya diakui 22% responden sedangkan yang tidak puas mencapai 70%.
Secara legal formal kedudukan Komisi Yudisial diakui oleh Komstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia pengakuan tersebut terdapat dalam pasal 24 B UUD 45 dimana dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa :
1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengankatan hakim agung dan mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim;
2. Angota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dewan Perwakilan Rakyat;
4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Dari Ketentuan yang diamanatkan oleh konstitusi tersebut dengan jelas menyabutkan bagwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, dalam konstitusi kita Komisi Yudisial memang terdapat dalam BAB Kekuasaan Kehakiman namun dilihat dari kewenangan yang diberikan Komisi Yudisial tidak masuk dalam kategori Judiciary Bodies.
Sedangkan kedudukan Komisi Yudisial sebagai salah satu institusi negara yang mandiri (state auxsiliaris institution) dalam setruktur ketatanegaraaan indonesia, kata institusi mandiri tersebut merupakan salah satu posisi Komisi Yudisial yang penting untuk digaris bawahi daimana didalam pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyatakan :
“Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenang nya bebas dari campurtangan atau pengaruh kekuasaan lainya.”
Dari ketentuan tersebut maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri (independence).
Secara etimologis istilah “mandiri” berarti menunjukkan kemampuan berdiri sendiri, swapraja, swasembada. Tidak ada campurtangan dari kekuasaan lain atau ketidak bergantungan suatu pihak lainya dalam literatur juga berarti “independen” dimana menurut Jimmly Asshiddiqie ada tiga pengertian independensi, yaitu :
1. Struktural Independence, yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat diganbarkan dalam bagan yang samasekali terpisah dari organisasi lain;
2. Functional Independence, yaitu independensi yanhg dilihat dari segi jaminan pelaksanaann fungsi dan tidak ditekankan dari setruktur kelmbagaannya;
3. Financial independence, Yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.
Kedudukan Komisi yudisial dalah sangat penting secara struktural kedudukanya diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fusngsional peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial meskipun kekuasaannya terkait dengan Kekuasaan Kehakiman. Komisi ini bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melaikan lembaga penegak norma etik (code of etic).
Walupun Komisi Yudisial ditentukan sebagai lembaga yang independen tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak diharuskan bertanggung jawab oleh Undang-undang. Dalam pasal 38 Komisi Yudisial menentukan :
1. Komisi Yudisial bertanggung jawab kepeda publik melalui DPR;
2. Pertanggungjawaban kepeda publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a) Menerbitkan laporan tahunan; dan
b) Membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
3. Laporan sebagaimana dimaksudpada ayat (2) huruf a sutidaknya memuat hal-hal sebagi berikut;
a) Laporan penggunaaan angaran;
b) Data yang berkaitan denga fungsi pengawasan; dan
c) Data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen hakim agung;
4. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada presiden;
5. Keuangan Komisi Yusisial diperisa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-undang.
Yang perlu digaris bawahi disini adalah pengaturan Komisi Yudisial dalam konstitusi menunjukan bahwa Komisi Yudisaial merupakan Main Organ atau sebagai lembaga negara utama seperti lembaga lembaga utama negara lainya yang ada dalam konstitusi. Argumen ini didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam Amandemen UUD 1945 terkait dengan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim, disamping itu Amandemen UUD 1945 sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga penunjang tetapi justru mengutkan kedudukan Komisi Yudisial sebagai main organ yang sifatnya mendiri seperti yang tertuang dalam pasal 24 B ayat 1 yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengankatan hakim angung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.
Kenudian hal tersebutdimplementasikan dalan pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menyatakan :
“Komisi Yudisial mempunyai wewenag :
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; dan
2. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim
Peran Penting dan Problematika KPK
Oleh Adhitya Johan Rahmadan
Pemberantasan korupsi telah menjadi salah satu agenda utama oleh pemerintah Indonesia, korupsi telah meluluhlantakan hampir seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara baik dalam bidang politik, ekonomi, social budaya, hukum dan bahkan agama. dari efek yang ditimbulkan, korupsi berdampak sangat besar, mulai dari kerugian yang diderita oleh Negara sampai pada semakin meluasnya kemiskinan di masyarakat.
Ada yang menyebutkan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan karena besarnya dampak yang timbul, berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi baik ditingkatan Negara maupun masyarakat sipil. ditambah ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga lembaga penegak hukum yang ada, maka pemerintahpun membentuk lembaga yang dikhususkan untuk memberantas kejahatan kemanusiaan ini yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. banyak hal yang mendasari dibentuknya lembaga ini salah satunya adalah pasal 43 UU 31 tahun 1999.
Menurut UU No 30 tahun 2002 yang merupakan UU mengenai KPK, KPK mempunyai beberapa tugas,fungsi dan wewenang.
tugas KPK
1. koordinasi dengan Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
2. Supervisi terhadap beberapa instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
3. Melakukan Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara
Wewenang KPK
1. Mengkoordinasikan Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
3. Meminta informasi tentang pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi
5. Meminta laporan dengan instansi terkait pencegahan tindak pidana korupsi
Dengan adanya Peran dan Kewenangan seperti tersebut diatas, KPK memiliki kekuasaan yang sangat luas terhadap pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, tidak hanya meliputi Wewenang Represif tetapi Juga meliputi wewenang Prefentif. apakah dengan wewenang tersebut KPK dapat memaksimalkan geraknya dibanding lembaga Penyidik atau penyelidik yang lain, karena terlihat. institusi-institusi yang ada seakan-akan impoten dalam menindak tegas para koruptor?
Ada berbagai analisa yang dikemukakan :
Pertama, pembuktian kasus-kasus korupsi sangat sulit, karena itu diperlukan perubahan dalam sistem pembuktian dengan menerapkan asas pembuktian terbalik. Sekarang DPR dan Pemerintah sedang membahas.
Kedua, ada yang mengemukakan mana mungkin sapu yang kotor bisa membersihkan lantai yang kotor. Artinya dengan aparat pemberantas korupsi yang tidak bersih sulit untuk menyapu bersih para koruptor. Karena itu aparat yang bersangkutan mesti dibersihkan terlebih dahulu. Membuat aparat menjadi bersih memang merupakan salah satu agenda yang harus dilakukan oleh pemerintah bila ingin berhasil membersihkan penyelenggaraan negara dari praktek-praktek KKN.
Ketiga, adalah pendapat yang mengemukakan bahwa institusi yang ada sekarang tidak independen dari pengaruh kekuasaan dan pengaruh rezim lama yang koruptif. Karena itu perlu dibentuk suatu lembaga independen untuk memberantas korupsi atau memperkuat institusi yang sudah ada guna secara spesifik menjalankan fungsi dalam mandat memberantas korupsi secara tegas.
Ternyata KPK juga mempunya hambatan yang cukup siknifikan untuk dicermati yaitu terletak dalam tumpang tindih kewenangan dengan institusi Kejaksaan dan Kepolisisan sebagai Lembaga Penyidik dan penyelidik di Negara ini terkait dengan problem psikologis dari pelimpahan kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dalam kasus tindak Pidana korupsi yang langsung dihendel KPK, dan juga kasus tersebut bukan mustahil dapat ditangani oleh lembaga kejaksaan yang dikhawatirkan akan terjadi perebutan “lahan basah” karena sudah menjadi rahasia umum saat kewenangan penyelidikan kasus tindak pidana korupsi dihendel oleh langsung kejaksaan dari pihak kepolisian dikarenakan pihak kepolisian, dirasakan tidak mampu menanganinya, yang dalam kasus tersebut terdapat keberatan dari Istitusi kepolisian, karena secara Politis dan financial Polisi akan terugikan jika kasus tindak pidana korupsi ini langsung di hendel oleh kejaksaan, Apakah hal tersebut juga akan teradi dalam Tumpang tindih kewenangan antara pihak institusi kejaksaan dengan KPK.
Berdasarkan uraian diatas, disini akan penulis coba sampaikan sebagai solusi alternative agar tidak adanya kesan tumpang tindihnya antara lembaga KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya, dimana seharusnya KPK dapat Menfokuskan diri untuk menyelesaikan permasalahan korupsi yang beda dengan institusi kejaksaan, karena disini KPK juga dibentuk secara Ad hoc semestinya KPK juga harus dapat memmanfaatkan kesempatan tersebut sebagai lembaga yang lebih Independent daripada Institusi kejaksaan, KPK harus menfokuskan diri untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar ( Mega Coruption ) semisal Korupsi BLBI atau korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya, yang hingga kini tidak ada kejelasan sama sekali, karena ditinjau dari kerugian yang ditimbulkan yang sangat besar.
Sehingga disini KPK tidak terlihat hanya mengurusi kasus korupsi yang berkelas “teri” biarlah korupsi yang kecil ditangani pihak kejaksaan sedangkan KPK harus Mulai mengintai kasus mega coruption yang terjadi dinegeri ini sehingga ibarat mencabut rumput liar KPK sebagai alat yang paling utama harus dapat mencabut rumput tersebut dari akar terdalamnya tidak hanya mencabut daunnya saja, Syukur kalau KPK bisa sampai mengembangkan penyelidikannya sampai padai korupsi yang dilakukan dan disuplai oleh pihak luar negeri terutama perusahaan transnasional untuk menyuburkan korupsi dinegeri ini.
Peran HAN Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Kewenangan
Oleh Adhitya Johan Rahmadan
(DETEROUTMENT DEPUFAIR YANG DILAKUKAN OLEH BADAN/PEJAHAT TATAUSAHA NEGARA/ADMINISTRASI NEGARA)
Peranan Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam melakukan kontrol terhadap jalannya isrumen-instrumen pemerintah seperti badan-badan milik pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah yang melakukan pelanggaraj baik itu pencurian atau penyalah gunaan wewenangnya yang dimana akan menyinggung perlindungan bagi subyek hukum yang dirugikan oleh negara maupun person yang mewakili negara dan perlindungan hukum dalam HAN
Penegakan Hukum dalam HAN
Menurut P.Nicolai dan kawan-kawan sarana penegakan hukum administrasi berisi
1. Pengawasasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau berdasarkan undang-undang yang bditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewaj9oban kepada indifidu
2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintahan
Dan ada beberapa sanksi pidana dalam HAN
1. Paksaan pemerintah
2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan
3. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah
4. Pengenaan denda administratif
5. Paksaan pemerintah
Bedasarkan berbagai yurispundensi di negri belanda atau peraturan undang-undang di indonesia,tampak bahwa pelaksanaan paksaan pemerintah adalah wawanang yang diberikan undang-undang kepada pemerintah,buklun keajiban.Kewenangan pemerintah untuk menggunakan bestuurdwang merupakan kewenangan yang bersifat bebes ,dalam arti pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah mengunakan bestuursdwang atau tidak atau bahkan menerapkan sanksi lainnya.
kebebasan pemerintah menggunakan wewenang paksaan pemerintahan ini dibatasi oleh asas-asas umum pemerintahan yang layak,seperti asas kecermatan,asas keseimbangan,asas kepestian hukum,dan sebagainya.
Disamping itu,ketika pemerintahan menghadapi suatu kasus pelanggaran kaidah hukum administrasi negara,misalnya pelanggaran ketentuan perizinan,pemerintah harus mengunakan asas kecermatan,asas kepastian hukum,atau asas kebijaksanaan dengan mengkaji secara cermat apakah pelanggaran izin tersebut bersivat subtansial atau tidak.Sebagai contoh dapat diperhatikan dari fakta pelanggaran berikut ini.
1. Pelanggaran yang bersifat subtansial : Seseorang mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman,akan tetapi orang tersebut tidak memiliki izin bagunan (IMB).Dalam hal ini,pemerintah tidak seepatutnya langsung menggunakan paksaan pemerintahhan ,dengan membongkar rumah tersebut .Terhadap pelanggaran yang tidak bersifat subtansial ini masih dapat ini msihdapat di legeslasi.pemerintah harus memerintahkan kepada orang yang bersangkutan untuk mengurus IMB.Jika orang tersebut,setelah diperintahkan dengan baik,tidak mengurus izin,maka pemerintah bisa menerapkan bestuursdwang ,yaitu pembongkaran.
2. Pelanggaran yang bersifat subtansial :Seorang membangun rumah dikawasan industri atu seorang [pengusaha membangun indusri dikawasan pemukiman penduduk,yang berarti mendirikam bangunan tidak sesuai dengan tata ruang atau rencana peruntukan (betemming) yang telah ditetapkan pemerintah dapat langsung menetapkan bestuurswang.
dalam Pertanggung jawaban Hukum Pemerintah harus di telisik dari Pengertian pertanggung jawaban, Pertanggung jawaban berasal dari kata tanggung jawap yang berati kata wajib menangung segala sesuatunya (kalau ada suatu hal,boleh dituntut,di persalahkan,diperkarakan dan sebagainya) Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yakni liability dan responsibility.Liabilitiy merupakan merupakan istilah hukum yang luas didalamnya antara lain mengandung makna bahwa (leability merujuk pada makna yang paling komperehensif,meliputi hampir setiap karakter setiap karakter resiko atau tanggungjawab ,yang pasti,yang bergantung,atau memungkinkan.
.Liability didefinisikan untuk menunjuk:semua hak dan kewajiban Disamping itu Liability juga merupakan:kondisi untuk tunduk kepada kewajiban secara aktual dan potensial;kondisi pertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mengkin suatu kerugian ,ancaman,kajahatan,beaya,atau beban ;kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang dengan sgera atau pada masa yang akan datang.Sementara responsibility berati kewajiban bertanggung jawab atas suatu undang-undang yang dilaksanakan,dan memperbaiki atau sebaliknya-memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya
Penutup
Ternyata dalam hukum administrasi yang berlaku di indonesia bnyak mengatur tentang persengketaan atau perbuatan sewanag-wenag (wilekeur/a bus detroit) perbuatan penyalah gunaan kewenangan (detournement de pouvair) dan kasusus-kasus tersebut bisa diselesaikan di peradilan tata usaha negara
Memaksimalkan Sistem Satu atap Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia
Oleh Adhitya Johan Rahmadan
Komitmen politik untuk memberlakukan penyatuan atap kekuasaan kehakiman sejak bulan Maret 2004, yang memindahkan kewenangan administrasi, personel, Finansial dan organisasi dari seluruh badan peradilan, merupakan satu ha yang telah lama dinanti, namun sekaligus memancing kekhawatiran baru yaitu lahirnya monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung (MA), MA dianggap belum siap dan mampu menjalankan seluruh tugas dan wewenagnya secara maksimal.
Salahsatu yang sering menadi sorotan sehubungan dengan penyelenggaraan pengadilan adalah sorotan lemahnya kinerja, kualitas dan inegritas hakim dan personel peradilan maka prioritas yang perlu dicanangkan oleh MA adalah upaya-upaya meningkatan kualitas dan kinerja serta integritas melalui perbaikan secara serius di bidang pengawasan.
Dalam erangka tersebut, maka dibutuhkan lembaga yang bertugas untuk melakukan control terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan Komisi Yudisial akan memberi dampak siknifikan pada Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan yang ada, baik berupa penyesuaian fungsi, pembenaan lembaga. maupun perbaikan setiap mekanisme public terkait didalamnya. Fungsi utama dari komisi ini adalah Mengusulkan engangkatan Hakim Agung dan men jaga , menegakkan kehormatan, keluhuran, nartabat, serta perilaku hakim.
Amanat konstitusi ini kemudian ditindak lanjuti dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yodhisial. Dengan Demikian, Secara Normatif ada Dua Lembaga Yang Memiliki Kewenangan Untuk Melakuakn Pengawasan terhadap hakim. Pertam pengawasan oleh Komisi Yidisial, Kedua pengawasan oleh Mahkamah Agung. Dalam Rangka mempersiapkan penyatuan satu atap, maka sejak tahun 2004 berdasarkan UU no 5 tahun 2004 tentang struktur organisasi MA yang baru. Dan MA telah menetapkan adanya Ketua Muda bidang Pengawasan dan Ketua Muda bidang pembinaan yang berada dibawah Ketua Non-Yudhisial. Permasalahannya adah, tanpa adanya pengaturan yang memadai mengenai mekanisme pengawasan perilaku hakim maka lembaga baru tersebut tidak akan dapat bekerja secara efektif. Karena itu perlu dilakuakan penyusunan sistem dan mekanisme pengawasan terhadap perilakua hakim yang baik.
Berbicara mengenai kewenangan Komisi untuk mengusulkan pengangkatan hakim, tidakdapat dipisahkan dari lemahnya rekrutmen hakim Agung ang selama ini, dari beberapa kelemahan tersebut adalah mekenisme yang tidak terbuka, Partisipatif dan angkutabel sehingga menyebabkan kentalnya jaringan KKN dalam menentukan calon hakim agung. Beberapa laporan keberatabn dari Masyarakat tentang Trac Record calon seringkali tidak diferifikasi dan tidak mendapatkan respon berarti dari pihak yang menyeleksi. Selain itu DPR sebagai semula memiliki kewenangan recruitment adalah lembaga yang politis sehingga keputusan yang diambil dalam rekruitmen sangat kental nuansa politisnya. Waktu yang sempit dan proses yang terburu-buru merupakan kendala utama yang menghambat partisipasi masyarakat. Memperhatikan Rekrutment Hakim Agung kepada komisi yudisial- sebagaimana diaur dalam pasal 24 Ayat 2 Amandemen III UUD 45 adalah pilihan yang tepat.
Selain mengusulkan pengangkatan Hakim Agung telah juga disebutkan sebelumnya bahwa komisi Yudisial juga berfungsi Untuk “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhauran martabat, Melihat perilaku hakim. Selama ini kondisi pengawasan peradilan sangatlah memprihatinkan. Sangat sedikit jumlah hakim yang ditindak, sementara keluhan masyarakat mengenai intregritas penegak hukum terutama hakim sanngatlah besar, bahkan Komisi Ombusman Nasional mencatat bahwa laporan pengaduan terbanyak yang masuk kekmisi ini sebagian besar menyangkut perilaku penega hukum yang sebagian besar para hakim. Lemahnya system pengawasan internal yang kini terpusat pada MA ini menyebabkan pesimisme di masyarakat bahwa hakim-hakim ‘nakal’ akan ditindak.
Keberadaan lembaga bau ini akan menjadi harapan besar bahwa akan ada institusi yang dapat diharapkan mampu melakukan tindakan serius dalam rangka memperbaiki integritas lemahnya hakim di pengadilan. UU no 22 th 2004 menyatakan dalam pasal 20 bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut maka komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan ter hadap perilaku hakim dalam rangka menjaga martanat dan keluhuran serta perilaku para hakim. Dalam pelaksa naan kewenangan ini Komisi Yudisial akan bertugas menerima dan menindak lanjuti laporan masyarakat maupun melakukan tindakan aktif untuk memanggil dan meminta keterangan hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik. Namun demiin suatu hal yang sangat disayangkan sangsi yang direkondasikan Komisi Yudisial kepada MA hanya bersifat rekonendatif, sedangkan keputusan terakhir tetap ada ditangan ketua MA. hal-hal yang dapat dilakukan yang dapat di minimalisir dari kelemahan tersebut adalah dengan membuka proses pemeriksaan dan hasil pemeriksaan komisi kepada publik. hal ini selain sebagai jaminan angkutabilitas dan transparansi, juga sebagai preaasure kepada MA, jika ternyata MA tidak menindaklanjuti rekomendasi KY meeskipun terdapat bukti-bukti yang cukup.
Dengan Komisi Yudisial inina diharapkan ologarki kekuasaan Yhudisial yang secara keseluruhan terpusat kepada MA sejak pensatuatapan kekuasaan kehakiman dapat terawasi dan terkendali sehinga Amanat dari konstitusi tentang oengsatuatapan kekuasaan ehaiman tersebut dapat berjalan maksimal untuk menegakkan keadilan dinegeri ini.
Dan untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, meka keberadaan komisi yudisial perlu mendapatkan dukungan angaran yang cukup dari pemerintah. Apalagi mengigat selama ini bangak sekali lembaga-lembaga baru yang dibentuk pemerintah gagal mennjalankan fungsinya dengan baik karena masalah ketidak cukupan anggaran. karena selama ini dalam menjalankan amanatnya Komisi Yudhisial belum mendapatkan anggaran dana yang pasti dan Kantor dan istrumen yang masih di gabung dengan gedung MA.
Mekanisme perekrutan Hakim Angung pada masa Orde Lama dan Orde Baru
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Pada masa Orde Lama proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah dengan diangkat dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah, namun dalam kenyataannya MA telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya.
Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde baru, proses rekrutmen hakim agung diawali dengan diadakanya forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan pemerintah yang biasanya dikenal dengan sebutan Forum Mahkamah Angung dan Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dab Depatrtemen dalam membicarakan daftar kandidat hakim agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung da Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat. Biasanya Mahkamah Angung berinisiatif memberikan nama-nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu.
Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan Mahkamah Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Meskipun demikian, Sebastian Pompe mencatat bahwa dalam praktiknya Ketua Mahkamah Agung seringkali memegang kontrol yang dominan dalam menentukan nama-nama calon yang dimasukkan dalam proposal.
Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat presentasi, biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalya dengan memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung dibahas, kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh presiden.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam rekruitmen hakim agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini terkait denga lemahnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat. Dibandingkan dengan kekuasaan pemerintah (eksekutif.
Menurut Mahkamah Agung, proses rekruitmen hakim agung selama Orde Baru menunjukkan adanya sejumlah kelemahan terutama pada aspek mekanisme pemilihan serta pemenuhan kreteria. Kelemhan-kelemaha tersebut meliputi empat hal sebagai beriku:
1. Hakim agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak jelas;
2. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara hakim agung biasanya akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar;
3. Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang mengakibatkan pemelihan dilakuakan tidak secara objektif. Beberapa hakim yang ada yang memiliki hubungan satu samalain, misalnya memiliki latar belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang dususun ketua Mahkamah Agung ;
4. Adanya Indikasi praktik-praktik suap sengan cara memberikan hadiah atau membeyar sejumlah uang yang dilakuakan oleh seseorang yang ingin dicalonkan.
Mekanisme Perekrutan Hakim Agung pada Masa Reformasi
Oleh: Adhitya Johan Rahmadan
Pada reformasi terjadi perombakan besar-besaran terhadap tataran kekuasaan pemerintahan mulai dari Konstitusi yaitu UUD 1945 yang di amandemen empatkali sehingga mengakibatkan beubahnya tatanan pemerintahan berserta lembaga-lembagany tak terlepas kekuasaan kehakiman dan tatacra pemilihan hakim agungnya.
Konfigurasi proses perekrutan hakiam agung di era reformasi ini segera berubah hal tersebut ditandai dengan keadaan dimana Dewan Perwakilan Rakyat tampil sebagai lembaga yang sangat kuat (powerful). Apabila pada masa Orde baru kekuasaan pemerintah begitu kuat dan Dewan Perwakilan Rakyat lemah, maka setela era reformasi keadaan menjadi sebaliknya, kekuasaan Dewan prewakilan Rakyat menjadi lebih kuat daripada kekuasaan pemerintah.
Perubahan peta politik tersebut berdampak pula terhadap mekanisme perekrutan hakim agung dan pimpinan Mahkamah Agung. Dewan Perwakilan Rakyat pada masa reformasi ini praksis mengambil alih peran pemerintah dan Mahkamah Agung dalam proses rekruitmen hakim agung. Setelah era reformasi, proses pencalonan bakal calon hakim agung yang dikenal dengan fit and proper test jauh lebih demokratis, partisipatif, objektif dan transparan daripada era Orde Baru.
Pada era reformasi masyarakat dapat mengajukan nama bakal calon, melaporkan informasi tentang bakal calon melalui anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat menjaringpandanga publik tentang bakal calon melaui pembuatan iklan layanan masyarakat di media cetak bersekala nasional.
Proses rekruitmen juga lebih objektif, karena tim yang dibentuk untuk menyusun aturan main dalam proses seleksi, dibuatnya persyaratan harus dipenuhi bakal calon apabila berkeinginan mengikuti proses seleksi atau meluangkan waktu diluar kerja normal untuk melakukan fit and proper test dan sebagainya. Proses rekrutmen semakin terlihat serius dengan digunakannya tiga kriteria sebagai parameter untuk menilai kelayakan bakal calon, yakni integritas, pemahaman hukum, serta visi dan misi selain penilaian aspek formal sebagaimana diatur dalam undang-undang. Meskipun demikian proses rekrutmen di era reformasi ini juga mengalami dua kelemahan utama, yaitu pertama, siapa yang melakukan proses seleksi dan kedua, bagaimana proses seleksi dilakukan.
Peraturan perundang-undangan yang tersedia tidak memberikan ketentuan yang jelas menganai bagaimana seharusnya proses seleksi hakim agung dilakukan. Hal ini menjadi persoalan yang sangat serius, karena dapat menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap bagaimana seharusnya seleksi dilakukan. Manurut Ahasin Tohari dalam bukunya Komisi Yudisial dan Reformasi peradilan, Fit and prorer test yang dilakukan memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Masih tertutupnya beberapa proses dan informasi yang seharusnya terbuka. Misalnya terhadap klarifikasi awal terhadap segi administratif dan integritas bakal calon dilakukan secara tertutup dan publik tidak dapat mengetahui apa yang menjadi parameter seorang calon dapat atau tidak lulus;
2. Tidak atukurang maksimalnya partisipasi publik dalam proses perekrutan. Laporan dari masyarakat yang telah diterima tidak atau kurang ditelusuri labih jauh oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
3. Minimnya metode pengukuran obyektif untuk menilai calon. Meskipun Dewan Perwakilan Rakyat telah membuat klarifikasi untuk menilai kelayakan bakal calon, tetapi sama sekali tidak memadai;
4. Setringkali calon yang dipilih mempunyai keahlian yang tidak sesuai dengan kebituhan Mahkamah Agung;
5. Pengusulan untuk perekrutan Hakim Agung dapat dikatan lambat;
6. Dalam Proses fit and proper test, anggota DPR kurang memberikan penghargaan sepatutnya kepada bakal calon.
Setelah mempertimbagkan berbagaimacam kelemahan yang terdapat dalam pola rekrutmen selama ini, rumusan pasal 24B hadir pada saat yang tepat untuk memperbaikinya. Pemberian wewenang tersebut kepada lembaga khusus yang bersifat mandiri serta beranggotkan orang-orang yang mempunyai kompetensi di bidang hukum diharapkan dapat menutupi kelemahan Pemerintah, Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat selama ini. Kehadiran Komisi Yudisial dapat menjadi Solisi.
Kekuasan Kehakiman yang mandiri dan rekruitmen Hakim Agung
Oleh : Adhitya Johan rahmadan
Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gaagsan negara demokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia barat. Seperti diketahui gaagsan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno (abad ke-6 s.d. ke-3 SM) seiring dengan meluasnya negara yang megadopsi sistim Demokrasi dan negara yang berlandaskan hukum sebagai salah satu wujud degara moderan maka kemandirian Kekuasaan Kehakiman atau kebebasan hakim mulai menjadi asas yang universal yang terdapat dimana saja dan kapan saja.
Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gaagsan negara demokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia barat. Seperti diketahui gaagsan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani Kuno (abad ke-6 s.d. ke-3 SM) seiring dengan meluasnya negara yang megadopsi sistim Demokrasi dan negara yang berlandaskan hukum sebagai salah satu wujud degara moderan maka kemandirian Kekuasaan Kehakiman atau kebebasan hakim mulai menjadi asas yang universal yang terdapat dimana saja dan kapan saja.
Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan paradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campurtangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil. Jadi pada dasarnya dalam memeriksa dan mengadili. Kecuali pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalanya sidang peradilan. Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya haim secara mikro dibatasi oleh pancasila, UUD, peraturan perundang-undangan, kehendak parapihak, ketertiban umum dan kesusilaan. Itu adalah faktor-faktor yang dapat membetasi kebebasan hakim. Kalaupun kebebasab hakim itu bersifat Universal, tetapi pelaksanaannya dimasing-masing negara tidak sama.
Di negara indonesia sendiri bentuk kekuasaan kehakimen dijamin oleh UUD 1945 aturan tersebu terdapat dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 24 ayat (1) yang berbunyi; Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dapat dipahami bahwa negara Indonesia menginginkan Kekuasaan Kehakiman yang Independen begitu juga untuk pelaksaanaanya, terutama oleh para hakimnya baik yang ada dibawah MA maupun MK bebas dari campurtangan pihak eksekutif maupun legislatif dalam memuatuskan sebuah perkara.
Sebagai contoh Interfensi tersebut pernah dilakuakan dalam peradilan masa orde lama yang kita jumpai dalam pasal 23 UU No 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan MA, yang memungkinkan Presiden campur dan turuntangan dalam persidangan peradilan.
Oleh karena itu, lembaga peradilan yang independen dipahami sebagai tidak adanya pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain diluar kekuasaan kehakiman dalam proses peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan keterkaitanya dengan hukum yang berlaku.
Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang hampa dari kepentingan-kepentingan politik, karena energi politik bahkan memiliki potensi dan kecendrungan yang sangat besar untuk melakukan interfensi terhadap kekuasaan kehakiman. Boleh dikatakan bahwa politik memiliki derajat determinasi yang tinggi terhadap independensi kekuasaan kehakiman. Oleh karena hal tersebut setiap keinginan untuk melakukan reformasi agar kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak dapat direalisasikan selalu akan berhadapan daengan kepentingan-kepentingan politik yang menghadangnya. Oleh karena itu, Kekuasaan Kehakiman sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang terkait dengan kepentingan politik.
Kekuasaan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya akan dapat terwujud apabila hanya akan terwujud apabila hanya tunduk pada atautran-aturan hukum yang berlaku pada penegakannya, apa bila Kekuasaan Kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang ada dalam suatu negara, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadiranya dalam suatu negara menjadi tidak bermakna. Satu hal yang patut dicatat disini adalah bahwa adanya jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman akan membuat parahakim merasa lebih nyaman dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Kekuasaan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini mempunyai sedikitnya lima segi, yaitu pengangkatan terhadap pejabat lembaga pengadilan yang tidak bersifat politik, masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada interfensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif terhadap proses peradilan dan pengadilan dan adanya otonomi secara administratif beserta anggatran belanja. Kelima hal tersebut menjadi semacam tonggak yang dapat dikjadikan parameter kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Gagasan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dapat diwujudkan salahsatunya apabila sumberdaya manusia hakim agung mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dapat direkrut. Artinya sitem perekrutan yang tersedia harus menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai pribadi-pribadi terbaik yang mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum. Oleh karebaitu, sistem perekrutan yang baik harus dibuat, yaitu sistem perekrutan yang dilakukan oleh pihak yang netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam proses perekrutan dan adanya setandar yang tepat.
Berbagai ketentuan hukum internsional memberikan persyaratan-persyaratan umum tentang perekrutan hakim , Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menciptakan standar umum dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang independen dan mana dalam satu negara yang telah memenuhi syarat dalam menegakkan gagasan Kekuasan Kehakiman yang independen dan dimana negara belum memenuhi syarat tersebut. Dengan demikian, gagasan kekuasaan kehakiman yang independen tidak dengan mudah direduksi dan didistorsi oleh negara-negara tertentu dengan menggunakan paradigmanya sendiri didalam mengimplementasikan gagasan tersebut. Dalam konteks Indonesia khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966-1998) gagasan Kekuasaan Kehakiman yang independen perneh direduksi sedemikian rupa, sehingga secara substantif dan dalam batas tertentu apa yang disebut dengan Independensi Kekuasaan Kehakiman sesungguhnya tidak ada.
Salah satu ketentuan hukum internasional yang menentukan pesyaratan perekrutan hakim adalah Pasal 10 Prnsip-Prinsip Dasar tentang Independensi Kehakiman ( Basic Prinsiples on the Independence of the Judiciary ) yamh oleh A.Hasin Tohari diterjemahkan dalam beberapa ketentuan yaitu :
1. Adanya integritas, kecakapan dan kualifikasi calon hakim;
2. Metode seleksi hakim harus memberikan perlindungan bagi pengangkatan hakim dari motivasi-motivasi yang tidak layak
3. Tidak ada diskriminasi bagi calon hakim
Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dilingkungan Kekuasaan Kehakiman disamping Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memiliki tanggug jawab yang besar karena ditangan Mahkamah Aguglah para pencari keadilan mengajukan upaya hukum ditingkatan tertinggi (kasasi).
Diberbagai negara perekrutan hakim, kususnya hakim angung akan selalu mengandung kekuasaan politik untuk ikut serta didalammnya, pernyataan tersebut tidak terepas dari kenyataan bahwa hakim agung mempunyai peran yang sangat besar dalam hal memutuskan perkara-perkara besar yang dihadapi. Oleh karena itu, seorang hakim agung harus mempunyai kriteria yang tidak mudah untuk dipenuhi. Kriteria-kriteria ideal secara umum misalnya memiliki kemampuan dibidang hukum, pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik dan seterusnya. Hakim yang memiliki kriteria-kriteria ini tidak akan hadir dalam satu perekrutan yang buruk. Tidak salah apabila dikatakan good judges are not born but made.
Kondisi diatas tersebut bisa dicapai salah satunya apabila proses perekrutan hakim khususnya hakim agung harus sedapat mungkin menjauhkan dari kepentingan-kepentingan politik, sehingga penilaian terhadapnya relatif lebih objektif. Salah satu gagasan yang kemudian muncul dan akhirnya diterapkan di beberapa negara adalah didirikanya sebuah lembaga yang mempunyai peran signifikan dalam perekrutan hakim agung. Lembaga ini sifatnya tidak politis sehingga kepentingan-kepentingan politik diharapkan tidak ikut melakukan determinasi dalam perekrutan hakim agung. Lembaga yang dimaksud adalah Komisi Yudisial. Di Indonesia sendiri gagasan pembentukan Komisi Yudisial tersebut sudah diakomodir karena mencermati kelemahan perekrutan hakim agung pada masa Orde Baru dan Reformasi.
Format Kekuasaan Kehakiman dalam Lembaga Negara di Indonesia
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam ketentuan perundang-undangan yakni UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan induk dan kerangka umum meletakkan dasar serta asas-asas peradilan secara umum, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas campurtangan daei pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelanggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum.
Dalam Negara hukum teori yang dianut adalah teori kedaulatan hukum. Menurut teori ini, yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik penguasa maupun rakyat atau warga negaranya, bahkan Negara itu sendiri semuanya tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai dan menurut hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.
Hal tersebut bermula dari konsep kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui instrumen-instrumen hukum yang kemudian dalam negara hukum harus diwujudkan dalam sitem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib agar dapat dijalankan.
Dari segi kelembagaan prinsip organisasi kemesyarakatan harus diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam setruktur mekanisme kelembagaan nagara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, Prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan, yaitu melaui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power) pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balancies). Sedangkan pembagian kekuasaan lebih bersifat vertikal dalam arti perwujutan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara mendapatkan dasar pijkan, antaralain Jhon Locke dan Montesquiu, Jhon locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” Jhon Locke mengusulkan agar kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi kepada organ-organ negara yang berbeda, menurut Jhon Locke agar pemerintah tidak sewenamg-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat Undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan Undang-undang)
3. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)
Montesquieu melalui bukunya “L’espirit des Lois”, Montesquiu pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbedadari yang ditawarkan Jhon Locke. Menurut montesqueu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat Undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana Undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (peradilan/ kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan kalau terjadi pelanggaran). Ketiga porosm kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu samalain baik mengenai orangnya maupun kekuasaannya. Ajaran mengenai pemisahan kekuasaan kedalam tiga pusat kekuasaan dari Montesqueu kemudian oleh Imanuel Kant diberinama Trias Politica.
Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Montesquieu terlihat ada pembedaan sebagai berikut :
1. Menurut Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasan yang mencakup kekuasaan yudikatif , karena mengadili itu berati melaksanakan Undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri
2. Menurut Montesquiu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif. Sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan menurut Montesqueu lebih dapat diterima. Namun dalam praktek ketatanegaraan, konsep Trias Politika sulit dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Oleh karena dalam suatu negara hukum moderen, satu organ atau badan kenegaraan itu tidak hanya diserahi satu fungsi kekuasaan saja. Kenyataan menunjukkan bahwa pembuat undang-undang yang seharusnya tugas legislatif, ternayata eksekutif juga diikutsertakan. Bahkan di Amerika Serikat yang dianggap kampiun dalam menjalankan konsep pemisahan negara, ternyata dalam praktek ketatanegaraannya dikenal sistem saling mengawasi dan saling mengadakan pertimbangan (check dan balance system ) antara kekuasaan-kekuasaan negara tersebut. Adanya hak feto dari presiden terhadap rancangan undang-undang yang diajukan kongres Amerika padahakekatnya sudah mengurangi pelaksanaan Trias Politica, karena wewenang menetapkan undang-undang oleh legislatif (kongres) sudah dikurangi.
UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) tersebut. Pembuat UUD 1945 tidak menghendaki agar sistem pemerintahanya disusun berdasarkan ajaran Tris Politica dari Montesquieu, karena ajaran atu dianggap sebagai paham liberal.Prof. Soepomo selaku salah seorang perancang UUD 1945 berpendapat bahwa UUD 1945 mempunyai sitem tersendiri, yaitu berdasarkan pembagian kekuasaan (distribution of power).
Dalam pembagian kekuasaan dimungkinkan adanya kerjasama antara lembaga-lembaga negara. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) menujukkan adanya kerjasama antara DPR dengan pemerintah dalam tugas legislatif. Disamping itu Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sumber kekuasaan itu dari tangan rakyat. Selanjutnya sumber kekuasaan itu melalui Majelis dilimpahkan dan didistribusikan kepada lembaga-lembaga lain, yang kedudukannya bnerada dibawah Mejelis. Lembaga-lembaga tersebut ialah Presiden (Pasal 4 (1)), DPR (pasal 19), DPA (Pasal 16), BPK (Pasal 23) dan Mahkamah Agung (Pasal 24). Dengan demikian berarti poros kekuasaan yang sejajar dengan eksekutif menurut UUD 1945 tidak terbatas pada tiga kekuasaan saja, tetapi ada lima poros kekuasaan.
Dari lima poros kekuasaan tersebut, cabang kekuasaan kehakiman merupakan salah satu cabang kekuasaan rakyat yang didistribusaikan oleh lembaga negara, sesuai dengan prinsip pembagian poros kekuasaam dimana cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang berpuncak kepada Mahkamah Agung yang Independen dan tidak terpengaruh cabang kekuasaan yang lain.
Sejak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadio begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra setruktur politik perlu direspon dengan perubahan konstitusi sebagai hukum dasar negara yang menjadi pijakan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.
Susunan kekuasaan negara setelah perubahan UUD 1945 menampilkan perubahan yang sangat fundamental. MPR berubah kedudukannya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga join session antara DPR dan DPD. DPA dihapus karena dilihat fungsinya tidak lagi setrategis. DPR dipertegas kewenanganya baik dalam fiungsi legislasi maupun fungsi pengawasan. Aturan tentang BPK ditambah, selain itu UUD 1945 setelah perubahan memunculkan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, Bank Indonesia dan Komisi Yudisial.
Kekuasaan kehakiman setelah UUD 1945, tetapi menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang mempunyai fungsi menegakkan keadilan. Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan pada kekuasaan yang mendiri bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dalam susunan kekuasaan negara Republik Indonesia yang baru, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tatausaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim Agung yang perofesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga yang khusus diadakan untuk rekruitmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).
Namun dalam perkembangannya puncak kekuasaan kehakiman tersebut berkembang
menjadi sua puncak yaitu MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) Haltersebut diungkapkan oleh Profesor Jimly Assiddiqie, Jimly Assidiqie mengungkapkan bahwa, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis Mahkamah lain yang berada diluar MA. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sedrajat dengan MA. Sebutanya adalah Mahkamah Konstitusi (Constitusional Court) yang dewasa ini makain banyak negara yang membentuknya di luar kerangka MA. Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke 798 yang mengadopsi gagasan pembentukan MK yang berdiri sendiri. Setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.
Secara umum, untuk landasan hukumnya dapat kita lihat setelah diundangkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara organisatoris, administratif dan finansial MK berada dibawah kekuasaan dan kewenangan MK (Pasal 13 ayat (2) UU No 4 tahun 2004.
Dilema Eutanasia
Oleh Adhitya Johan Rahmadan
Pengertian Eutanasia adalah tindakan membunuh secara medis terhadap si penderita berat ( agar penyakit yang dideritanya terlupakan semua).
Kasus beberapa tahun yang lalu di Indonesia belum sampai pada eutanasia, baru pada titik permintaan eutanasia. Seorang istri yang koma selama berbulan-bulan, kemudian suaminya meminta kepada dokter untuk dilakukan eutanasia. Kenyataannya tidak sampai dilakukan eutanasia.
Kasus eutanasia biasanya diawali karena penyakit yang diderita sudah terlampau lama, perkembangan terhadap kesembuhan pun semakin dirasakan tidak memungkinkan dan biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Keadaan yang demikian biasanya mengawali tindakan eutanasia, ditambah lagi beban sakit yang sangat oleh penderita atau beban dari keluarga penderita sendiri.
Penyakit yang diderita tersebut secara langsung atau tidak langsung akan berdampak secara psikis maupun non psikis. Kerisauan yang dialami dan materi yang terkuras karena penyakit itu semakin memperkuat keinginan eutanasia.
Pada dasarnya eutanasia merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM. Hal tersebut dikarenakan penderita memiliki hak dasar yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup. Dalam hal eutanasia, hak hidup seseorang akan dirampas. Sebagai Negara hukum tentunya Negara harus menegakkan dan menjamin kepastian adanya perlindungan terhadap HAM.
Pembunuhan tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban baik penderita maupun keluarga. Namun benarkan itu dapat dipastikan tindakan tepat, kekhawatiran selanjutnya adalah bagaimana jika tindakan itu dirasakan terlalu tergesa-gesa dan kemungkinan kesembuhan jika keluarga sedikit bersabar maka penderita akan sembuh. Ini merupakan salah satu dilema eutanasia.
Namun dilain sisi keluarga yang merasakan dampak langsung diatas ketidaksadaran penderita merasa mempunyai beban psikis dan materi. Kehawatiran psikis yang berdampak pada keluarga terutama anak-anak serta materi yang terkuras sementara keluarga masih menanggung biaya hidup bagi keluarga yang lain.
Jika biaya semakin banyak sementara hasilnya tidak mengalami perubahan tentunya akan terasa sia-sia dan akan menelantarkan hidup keluarga yang lain karena tidak ada sandaran hidup lagi. Jalannya kehidupan keluarga mendatang juga hendaknya diperhatikan. Karena disini juga menyangkut nyawa orang lain. Hal-hal tersebut merupakan dilemma yang kedua.
Karena ada dilemma kemudian yang dicari adalah solusi. Solusi yang ditawarkan untuk kondisi psikis keluarga adalah kembali pada keyakinan keluarga tersendiri. Kesabaran, ikhtiar adalah cara untuk berserah kepada-Nya.
Pada dasarnya yang menjadi pertimbangan kuat eutanasia adalah dari segi materi. Jika dibenturkan dalam hal ini maka solusinya adalah dengan pembebasan biaya pengobatan, baik itu dengan bantuan rumah sakit atau Negara yang menjamin kesejahteraan warga negaranya.
Kasus ini tidak sering terjadi sehingga pembebasan biaya pun bukanlah hal yang sulit untuk Negara. Dengan pembebasan tersebut diharapkan semua pihak mendukung penyembuhan penderita dan tentunya Negara pun dapat melindungi penderita serta keluarganya dalam hal materi.
Negara dengan kekuasaannya dapat membantu meminimalisir pelanggaran terhadap kepastian hukum yang ada. Karena jika terjadi eutanasia maka hak untuk hidup yang mutlak dimiliki sebagai makhluk Tuhan perlu dipertanyakan kepastian hukumnya.
Dengan perpaduan tersebut diharapkan dapat berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan penderita.
Korupsi Crime Against Humanity Yang Membudaya di Indonesia
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Apa betul bangsa kita terbiasa dengan praktek korupsi ini, dan apakah dampaknya bagi bangsa kita kejahatan yang dikategorikan setingkat dengan pelanggaran Ham ini
Pada masa kita di jajah oleh VOC salah satu kongsi dagang terbesar di milik pemerintah belanda ini juga turut andil membudayakan korupsi di bangsa Indonesia, ini terbukti dengan dibubarkanya kongsi dagangini oleh pemerintahan belanda karena banyakknya korupsi di dalamnya, pada saat VOC menjajah inidonesia VOC mengeruk kekayaan bangsa Indonesia tanpa ada Imbalan yang layak untuk bangsa Indonesia yang dijajahnya, penularan budaya korup ini dimulai dari perlombaan para Pemimpin VOC untuk memperkaya diri sendiri , ini ditularkan kepada mandor dan tukang pukul pribumi dimana mereka harus mengambil hati para pemimpin VOC dengan cara memeras dan mengambi keuntungan sebanyak-bayaknya dari rakyat inidonesia, agar para mandor dan tukang pukul pribumi dapat mengambil hati pemimpin VOC danjuga meniru prilaku mereka untuk memperkaya diri sendiri buda ya ini diteruskan walaupun pihak penjajah berganti bahkan hingga saat ini setelah indonesia merdeka.
Kita sebagai bangsa yang merdeka sampai saat ini tidak banyak menikmati kemakmuran, dikarenakan parakoruptor ini mereka mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya yang seharusnya diperuntukkan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat malangnya nasib rakyat indonesia terus di bodohi hingga kini .
Pada ahirnya karena banyak yang tidak mengetahui bahwa korupsi ini berbahaya berabat-abat lamanya, dikarenakan memang Istilah Pemberantasan Korupsi baru dipopulerkan semenjak masa reformasi budaya prilaku korupsi yang berabat-abat dibiarkan inilah yang sekarang menjadi sangat sulit diberantas dikarenakan sudah membudaya walaupun definisi budaya itu sendiri adalah cipta rasa dan karsa yang luhur akan tetapi ternyata ada juga cipta rasa dan karsa yang tidak luhur dan luput dari perhatian kita, bangsa ini boleh menolak bahwa kita tidak berbudaya korup akan tetapi Bangsa ini juga terperanjat ketika Dato Param Cumaraswamy pelapor kusus Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa korupsi di peradilan Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia yang mungkin hanya disamai dengan Meksiko.
Bahkan dimata pebisnis kususnya para Investor Asia, korupsi di Indonesia khususnya korupsi di pengadilan , Indonesia mendapat sekor 8,03 dari sekala 1 sampai 10 dengan catatan yang mendapat sekor 1 adalah yang terbaik dan yang mendapat sekor 10 adlah yang terburuk .
Prilaku korusi ini mengakibatkan, krisis ekonomi berkepanjangan penderitaan dimana-mana dan angka kriminalitas terus meningkat, kenapa bisa seperti itu. Berdasarkan hasil penelitian dari Transparacy International ditemukan adanya keterkaitan anatara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan/kriminalitas . ternyata jika korupsi meningkat maka kejahatan juga akan meningkat (Global Coruption Report), sebaliknya pula jika angka korupsi menurun maka kejahatan juga akan menurun ini terkait dengan kepercayaan masyarakat dan terhadap aparat penegak hukum dan juga penghargaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri kalau hukum dapat dibeli kenapa masyarakat harus menghargai hukum, akan terjadi ketidak adilan jika aparat sendiri tidak menghiraukan hukum dan masyarakat harus menghiraukan hukum, karena komponen utama dari hukum adalah persaamaan di depan hukum.
Soejono Soekamto mengungkapkan bahwa penegakan hukum disuatu negara selain tergantung pada hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana prasarana juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat, kesejahteraan yang memadai dalam artian bahwa kejahatan tidak lagi timbul dikarenakan kesulitan ekonomi.
Sedangkan Korupsui itu sendiri menghambat pembangunan dan menghambat perkembangan kegiatan usaha di indonesia, korupsi menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi, maksudnya harga jual barang dan jasa di Indonesia menjadi tinggi. Kalangan dunia usaha terkena dampaknya, Investasi yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan jadi sangat mahal harganya , disebabkan ekonomi harus melalui pintu yang namanya korupsi. Singkatnya korupsi membuat beban ekonomi yang dipikul rakyat menjadi sangat berat melebihi kapasitas kemampuan mereka.
Inilah yang menyebabkan korupsi itu setingkat dengan pelanggaran HAM dikarenakan masyarakat terampas haknya untuk mendapatkan pekerjaan, penghidupan yang layak dan bahkan persamaan di depan hukum, tidak ada jalan lain selain menumpas habis budaya korupsi yang kita legalkan secara tidak langsung selama ber abad-abad ini.