Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Ahir-ahir ini banyak permasalahan rumah susun yang mencuat dipermukaan, hal tersebut dikarenakan tingginya ifestasi rumah susun yang tidak dibarengi dengan pengetahuan hukum yang terkait dengan rumah susun di kalangan masyarakat luas, sebenarnya pengaturan mengenai rumah susun mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dengan, pembangunan rumah hunian dengan tanah diatas hal milik perorangan (privat), artikel ini penulis memcuba coba untuk membedah permasalahan rumah susun dari aspek hukum.
Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Dengan semakin bertambahnya penduduk, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas, maka pembangunan rumah dibuat bertingkat atau yang kita kenal dengan rumah susun. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) tidak disebutkan secara khusus mengenai rumah susun, karena dalam pasal 16 UUPA berbunyi sebagai berikut: 1. hak milik, 2. hak guna usaha, 3. hak guna bangunan, 4. hak pakai, 5. hak sewa, 6. hak membuka tanah, 7. hak memungut hasil hutan, 8. hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Hak-hak atas tanah tersebut didasarkan pada pasal 4 ayat (1) UUPA yang berbunyi “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”
perumahan merupakan salah satu unsur yang penting dalam strategi pengembangan wilayah, yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional. Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah nasional, yang dampaknya sangat dirasakan di seluruh wilayah tanah air, terutama di daerah pekotaan yang berkembang pesat.
Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Dengan semakin bertambahnya penduduk, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas, maka pembangunan rumah dibuat bertingkat atau yang kita kenal dengan rumah susun. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh.
Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai rumah susun, yaitu Undang-undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (“UURS”). Definisi rumah susun menurut Pasal 1 butir (1) UURS adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama
Menurut UURS, rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku. Untuk rumah susun yang dibangun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib menyelesaikan status hak guna bangunan-nya terlebih dahulu sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan (Pasal 7 UURS ayat (1).
Satuan rumah susun dapat dimiliki baik oleh perseorangan maupun badan hokum yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah, dan untuk mencapai tertib administrasi pertanahan serta memberikan kepastian dan perlindungan hokum kepada pemilik hak atas satuan rumah susun, maka sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) sebagai tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun diterbitkan sertipikat hak milik.
Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hokum yang berlaku, yang mana pemindahan hak tersebut dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan pada Kantor Agraria/ Badan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan (Pasal 10 UURS). Peralihan hak dengan pewarisan adalah peralihan hak yang terjadi karena hokum dengan meninggalnya pewaris, sedangkan pemindahan hak tersebut dapat dengan jual beli, tukar menukar dan hibah.
Berdasarkan Pasal 12 UURS, rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan atau fidusia. Dapat dibebani hak tanggungan apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan, dan dibebani fidusia apabila dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah Negara. Hal ini dimaksudkan supaya dapat dimungkinkan adanya pemilikan satuan rumah susun dengan cara jual beli yang pembayarannya dilakukan secara bertahap atau angsuran.
Pembangunan rumah susun berlandaskan pada asas kesejahteraan umum keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan. Asas kesejahteraaan umum dipergunakan sebagai landasan pembangunan rumah susun dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pemenuhan kebutuhan akan perumahan sebagai kebutuhan dasar bagi setiap warga negara Indonesia dan keluarganya.
Asas keadilan dan pemerataan memberikan landasan agar pembangunan rumah susun dapat dinikmati secara merata, dan tiap-tiap warga negara dapat menikmati hasil-hasil pembangunan perumahan yang layak. Asas keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan mewajibkan adanya keserasian dan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan rumah susun, untuk mencegah timbulnya kesenjangankesenjangan sosial.
Arah kebijaksanaan rumah susun di Indonesia tercantum dalam UURS berisi 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
Pertama : Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan, dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan penduduk;
Kedua : Konsep pembangunan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan pemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni, yang dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik satuan rumah susun, berwenang mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan rumah susun;
Ketiga : Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik atau fidusia atas tanah beserta gedung yang masih dibangun.
dengan uraian tersebut di atas, maka kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk :
a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.
b. mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.
Di dalam Penjelasan Umum UURS ditegaskan bahwa pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah.
Pembangunan rumah susun memerlukan persyaratan-persyaratan teknis dan administratif yang lebih berat. Untuk menjamin keselamatan bangunan, keamanan, dan ketenteraman serta ketertiban penghunian, dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya, maka satuan rumah susun baru dapat dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghuni satuan rumah susun tidak dapat menghindarkan diri atau melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian-bersama, benda bersama, dan tanah-bersama, karena kesemuanya merupakan kebutuhan fungsional yang saling melengkapi.
Kesimpulan
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Pengaturan tentang rumah susun diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, dimana dalam undang-undang tersebut diatur tentang pembangunan rumah susun dan tata cara pemilikan dan peralihannya.
Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan hutang dengan pembebanan sertipikat hak milik dengan Hipotik/Hak Tanggungan apabila rumah susun dibangun di atas tanah hak milik dan hak guna bangunan, serta dengan pembebanan fidusia apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah Negara.
Referensi :
Undang-Undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun
Pentungan dan Gas Air Mata
-
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
PADA 20 Oktober 2009 lalu, saya mendampingi warga petani lahan pantai yang
ingin mengikuti konsultasi publik analisis mengen...
14 tahun yang lalu
0 comments:
Posting Komentar