Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Menelaah sebuah definisi tidak
terlepas dari unsur-unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, dimana
unsur-unsur tersebut berguna untuk melihat lebih dalam dan sekaligus sebagai
pembatas sebuah definisi perikatan itu sendiri.
Untuk itu mari kita lihat
unsur-unsur perikatan menurut hukum dari beberapa pendapat sarjana hukum yang
menjelaskan unsur-unsur perikatan sebagai berikut :
a. Hubungan hukum.
Hubungan
hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada 1 (satu)
pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya. Apabila 1 (satu) pihak
tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan
supaya hubungan hukum tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. (Badrulzaman,
dkk, 2001: 2)
Kalau
debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela dengan baik dan sebagaimana
mestinya maka kreditur dapat meminta bantuan hukum agar ada tekanan kepada
debitur supaya ia memenuhi kewajibannya. (Satrio, 1999: 19)
Contohnya
dalam jual-beli dimana satu pihak terdapat kewajiban hukum untuk memberikan
pembayaran dan pihak yang lain terdapat
kewajiban untuk menyerahkan benda yang diperjual belikan, jika salah satu pihak
tidak memberikan hak yang telah dia janjikan, maka salah satu pihak yang
dirugikan tersebut dapat meminta bantuan hukum kepada institusi pengadilan agar
ada paksaan kepada pihak laian untuk melaksanakan kewajibannya.
Tidak
semua hubungan hukum dapat sisebut perikatan. Suatu janji untuk bersama-sama
pergi piknik, tidak melahirkan perikatan, sebab janji tidak mempunyai arti
hukum. Janji demikian termasuk dalam lapangan hukum moral.
b. Kekayaan
Kriteria
perikatan itu adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap suatu hubungan
hukum sehingga hubungan tersebut dapat disebutkan suatu perikatan. Dalam
perkembangan sejarah, apa yang dipakai dalam kriteria itu tidak tetap. Dahulu
yang menjadi kriteria ialah hubungan hukum tersebut dapat dinilai dengan uang
atau tidak. Apabila hubungan hukum tersebut dapat dinilai dengan uang maka
hubungan hukum tersebut dalah suatu perikatan.(Badrulzaman, dkk, 2001: 2)
Kriteria
itu semakin lama semakin sukar untuk dipertahankan, karena di dalam masyarakat
terdapat pula hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun
terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan terpenuhi.
Hal tersebut bertentangan dengan salah satu tujuan hukum yaitu mencapai
keadilan Oleh karena itu, sekarang kriteria diatas tidak lagi dipertahankan
sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu
tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan
menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum pun akan
melekatkan akibat hukum pada hubungan hukum tadi sebagai suatu perikatan .(Badrulzaman,
dkk, 2001: 2-3)
c. Pihak-pihak
Apabila
hubungan hukum tadi dijajaki lebih jauh lagi maka hubungan hukum itu harus
terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi, pihak
yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi
prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau yang berutang. Maka ini yang
disebut subyek perikatan.( Badrulzaman, Aneka,
2011:4)
Seorang
debitur harus selamanya diketahui, karena seseorang tentu tidak dapat menagih
dari seseorang yang tidak dikenal. Lain halnya dengan kreditur, boleh seseorang
yang tidak diketahui. Dalam perikatan pihak-pihak dan debitur dapat diganti.
Pengantian debitur harus diketahui dan disetujui oleh kreditur, sedangkan
penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak. ( Badrulzaman, Aneka, 2011:4)
Setiap
debitur mempunyai kewajiban menyerahkan prestasi kepada kreditur. Oleh karena
itu, debitur mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Dalam istilah asing
kewajiban itu disebut Schuld. Di samping Schuld debitur juga
mempunyai kewajiban yang lain, yaitu Haftung. Maksudnya ialah debitur
berkewajiban memberikan harta kekayaan untuk diambil kreditur sebanyak utang
debitur, guna pelunasan hutang tadi. Apabila debitur tidak memenuhi kewajiban
membayar hutang tresebut. ( Badrulzaman, Aneka,
2011:5)
Setiap
kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak
untuk menagih piutang tersebut. Dalam hukum perdata disamping hak untuk menagih
(Vorderingsrecht) apaila debitur tidak membayar kewajiban hutangnya,
kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur, sebesar piutangnya pada
debitur (verhaalsrecht). (Badrulzaman, Aneka, 2011:5)
Menurut
para sarjana dan jurisprudensi, Schuld dan Haftung itu dapat dibedakan, akan tetapi pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Asas Pokok dari Haftung ini terdapat
dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Fungsi debitur
berupa schuld dapat berada pada orang lain. Debitur adalah orang
yang terahir yangwajib melunasi prestasi dengan kekayaan-kekayaannya. Pada
momen itu, Schuld dan Haftung pada berada pada orang yang sama.( Badrulzaman,
Aneka, 2011:5)
d. Prestasi (Obyek hukum)
Obyek hukum perjanjian adalah hal
yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu. Menurut
Undang-Undang setiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). ( Badrulzaman, Aneka, 2011:5).
Dikatakan bahwa di dalam
perikatan ada kreditur yang mempunyai tagihan dan ada debitur yang mempunyai
hutang. Kemudian tagihan dan hutang tersebut tertuju kepada suatu prestasi
tertentu. Dengan demikian tagihan kreditur adalah tagihan prestasi dan
kewajiban/hutang debitur adalah prestasi tertentu. (Satrio, 1999: 28)
Prestasi itu harus tertentu atau
paling tidak dapat ditentukan karana kalau tidak, bagaimana kita bisa menilai
apakah debitur telah memenuhi kewajiaban prestasinya dan apakah kreditur sudah
sudah mendapatkan sepenuhnya apa yang menjadi hak nya? Prestasi tersebut bisa
berupa kewajiban menyerahkan sesuatu, malakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu.(Satrio,1999:28)
Tidak
disyaratkan bahwa prestasi harus mungkin dipenuhi. Disini yang paling penting
dan dapat dipakai sebagi ukuran adalah apakah debitur tahu, bahwa itu memang
tidak mungkin, maka kita boleh menganggap, bahwa kreditur tidak memperhitungkan
kewajiban prastasi debitur dengan serius (niet ernsting bedoel) dan karenanya perikatan itu batal. Lain
halnya kalau debitur tidak tahu, bahwa prestasi itu tidak mungkin terpenuhi.
Dalam bayangan debitur isi perjanjian adalah suatu yang mingkin kemudian
ternyata dalam pelaksanaannya adalah tidak mungkin, maka debitur harus tetap
bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi kepada kreditur.(Satrio, 1999: 32)
Prestasi
yang halal dimana perikatan lahir adanya dari perjanjian dan Undang-Undang.
Karena untuk syarat syahnya perjanjian disyaratkan bahwa dia tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka
perikatan tidak mungkin memiliki isi prestasi yang dilarang oleh Undang-Undang.(Satrio,
1999: 32)
Daftar Pustaka :
1. Badrulzaman
Mariam Darus, dkk, 2001, Kompilasi
Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
2. ......, 2011, Aneka
Hukum Bisnis, PT. Alumni, Bandung.
3. Satrio.J, 1999, Hukum
Perikatan Perikatan Pada Umumnya, PT Alumni, Bandung,.
0 comments:
Posting Komentar