Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya alam yang luar biasa mulai dari kesuburan tanah hingga kekayaan laut yang berlimpah, sehingga sering kita mendengar istilah Indonesia adalah negara Agraris, akan tetapi itu hanya menjadi jargon semata tanpa adanya Implementasi yang jelas dari pemerintah.
Hal tersebut terlihat dari rapuhnya ketahanan pangan, dikarenakan minimnya produk pokok pertanian seprti kedelai, jagung dan gula yang dapat diproduksi di dalam negeri, Indonesia kini mengandalkan kebijan Impor produk pangan dari luar negeri yang mengakibatkan ketergantungan yang tidak semestinya di alami Indonesia sebagai negara yang bercorak agraris.
Dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional Indonesia cukup tergantung dengan impor produk pangan dari luar negeri, lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa dikeluarkan untuk mengimpor pangan. (Kompas, Selasa, 25 Agustus 2009). Sedangkan dapat kita ketahui sejak zaman kolonialisasi bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa agraris dan terbiasa memenuhi kebutuhan pokok pangnnya, kenapa setelah kemerdekaan kita raih Indonesia justru harus mengimpor produk pangan untuk mencukupi persediaan pangan nasional.
Kalau dilihat lebih lanjut, permasalahan ketahanan pangan tersebut bermula dari kekacauan paradigma pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru hingga sekarang, sebenarnya pada saat pemerintahan Orde Lama arah pembangunan nasional memang diarahkan ke aspek pertanian hal tersebut terlihat dari ditetapkannya Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Perturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dimana semangat dari UUPA adalah semangat reforma agraria untuk melindungi dan memajukan petani di Indonesia.
Namun sejak awal pemerintah Orde Baru, Indonesia mulai mencanagkan langkah-langkah dalam kebijaksanaan pembangunan yang ingin mentrasformasikan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, akan tetapi sampai sekarang keinginan dari pemerintahan Orde Baru tersebut tidak dapat dituntaskan.
Kegagalan trasformai masyarakt agraris ke masyarakat industri dikarenakan pemerintah yang berkuasa tidak sunguh-sunguh dan konsisten untuk menyelesaikan reforma agraria yang diamanatkan UUPA. Seperti hak tanah untuk petani penggarap dan larangan kepemilikan tanah melebihi batas, yang seharusnya sudah tuntas terlebih dahulu, sebelum menginjak ketahapan Industrialisasi.
Memang sejak pemerintahan orde baru mencul kebijakan untuk meniadakan reforma agraria kususnya distribusi tanah bagi petani, dikarenakan paradigma pembangunan berbasis industri lebih dominan. Namun faktanya bangsa Indonesia sebagaian besar berprofesi sebagai petani yang membutuhkan lahan pertanian sebagai sumber penghasilan, akan tetapi hal tersebut diingkari oleh pemerintahan orde baru, sehingga distribusi tanah bagi petani diabaikan dengan asumsi industri dapat menyerap tenaga kerja dari petani desa yang tidak mempunyai lahan cukup, akibatnya terjadi urbanisasi besar-besaran.
Menurut Prof. Dr. Sediono M.P Tjondronegoro pembangunan industri dan prasarananya ternyata juga membutuhkan tanah. Termasuk juga pemukiman di sekitar pusat-pusat industri yang semakin meluas. Pulau jawa yang padat penduduknya yang terutama mengalami kekurangan tanah terlebih dahulu dibanding pulau-pulau lain. Disinilah timbul kecemasan bahwa dengan berkurangnya areal persawahan di pulau jawa, produkasi pertanian dapat menurun.
Masalah tersebut diperparah dengan banyaknya jumlah petani yang tidak mempunyai lahan pertanian yang luas, padahal dalam UUPA diamanatkan bahwa petani penggarap berhak mendapatkan dua hektar lahan pertanian. Prof Loekman Soetrisno dan prof Sjamsoe’oed Sadjad, bahwa kepemilikan lahan yang sangat sempit merupakan kendala untuk meningkatkan kesejahteran dan produktifitas petani, upaya pertama yang harus dilakukan adalah pengusaan lahan garapan yang mencapai sekala “layak usaha” sehingga petani mampu mengakses berbagai fasilitas usaha-usaha lainnya, yang mempu mensejahterakan dirinya.
Tanah Untuk Petani
Sebagaian petani di Indonesia masih bercorak petani gurem/kecil, bahkan banyak diantara mereka yang berprofesi petani namun tidak mempunyai tanah, mereka mengelola tanah orang lain dengan sistim bagi hasil. Sehingga banyaknya jumlah petani tidak sebanding dengan jumlak produk yang bisa dihasilkan, untuk itu perlunya kita mengembangkan konsep petani yang lebih maju, yang mempunyai oroentasi ke ekonomi uang dan pasar, mampu memanfaatkan teknologi yang lebih mekanis dan mengelola usaha taninya dengan lebih mutahir, petani tersebut biasa disebut farmer, tentu saja farmer membutuhkan tanah yang luas agar bisa mengembangkan produksi pertaniannya.
Namun tanpa reforma agraria, termasuk redistribusi dan konsolidasi tanah pertanian yang konsisten, sukar diharapkan petani gurem/kecil akan dapat menjadi petani maju, dikarenakan produk yang mereka hasilkan tidak akan memenuhi volume permintaan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia sendiri.
Menteri negara agraria/kepala BPN mungkin tidak cukup kuat untuk meyakinkan angota-angota cabinet lain yang belum menyadari krusial dan fitalnya UUPA, sehingga kiranya perlu dorongan oleh LSM dan kelompok pelobi lain agar pemerintah sunguh-sunguh dalam mengatur agraria kita. Jika hal tersebut tidak dapat dilaksanakan beban pemenuhan kebutuham pangan akan terus melonjak melebihi batas yang dapat kita perhitungkan dengan minimnya produk yang dapat dihasilkan oleh petani maka kita akan terus menambah volume impor pangan kita.
Jika Pemerintah dapat konsekwen mengemban amanat UUPA dan mewujudkan reforma agraria Indonesia dapat mempercepat dan memperjelas arah pembangunan nasional, sehingga kelak kita tidak perlu lagi menyisihkan anggaran yang begitu besar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Pentungan dan Gas Air Mata
-
Oleh : Adhitya Johan Rahmadan
PADA 20 Oktober 2009 lalu, saya mendampingi warga petani lahan pantai yang
ingin mengikuti konsultasi publik analisis mengen...
14 tahun yang lalu
0 comments:
Posting Komentar